Sunday, August 3, 2014

Referensi Penanganan Medis Gangguan Bipolar Pada Anak

Gangguan bipolar (terkadang disebut juga penyakit manik-depresif) merupakan gangguan otak yang menyebabkan adanya perubahan mood dan energi yang tidak biasa. Ada periode kegembiraan hebat dan eksitasi (mania) bergantian dengan periode depresi. Mungkin bisa terdapat mood yang normal diantara kedua periode ini.
Anak-anak normalnya memiliki mood yang cukup sering berubah, mulai dari yang senang dan aktif sampai murung dan diam. Perubahan mood ini jarang sekali merupakan suatu gangguan kesehatan mental. Gangguan bipolar jauh lebih berat daripada perubahan mood yang normal, dan mood yang terjadi berlangsung lebih lama, seringkali sampai beberapa minggu atau bulan.
Gangguan bipolar jarang terjadi pada anak-anak. Gangguan bipolar biasanya mulai terjadi saat masa remaja atau awal masa dewasa. Gangguan bipolar pada remaja mirip dengan gangguan bipolar pada orang dewasa.
PENYEBAB
Penyebab terjadinya gangguan bipolar belum diketahui, tetapi tendensi untuk mengalami gangguan bipolar bisa diturunkan. Gangguan ini mungkin berkaitan dengan kelainan pada zat-zat kimia di otak. Gangguan bipolar bisa dimulai setelah ada suatu kejadian berat yang dialami, meskipun kejadian tersebut tidak merupakan penyebab terjadinya gangguan bipolar, tetapi dapat menjadi pemicu terjadinya episode manik-depresif.
GEJALA
Gejala-gejala utama gangguan bipolar adalah adanya episode-episode dimana seseorang merasa sangat gembira (mania) dan terkadang terdapat episode-episode depresi.
Mania adalah suatu keadaan dimana terdapat perasaan sangat senang, melambung, dan rasa kebesaran (anak merasa bahwa dirinya memiliki bakat yang hebat atau telah membuat penemuan penting). Anak merasa sangat berenergi. Ada banyak ide yang dipikirkan, sampai tidak tahu apa yang harus ia kerjakan lebih dulu. Anak menjadi banyak berbicara. Saat episode manik, anak bisa menjadi sulit tidur, tetapi tidak merasa lelah. Anak juga bisa menjadi agresif dan mudah marah.
Kemudian, tanpa peringatan, terjadi episode depresi. Anak menjadi merasa begitu sedih, semuanya tampak begitu buruk, gelap dan berat. Anak menjadi kehilangan minat pada aktivitas yang biasa ia kerjakan sehari-hari, tidur lebih banyak dari biasanya, dan berpikir atau bergerak lebih lambat dari biasanya. Tidak ada sesuatu yang dirasakannya baik. Terdapat rasa putus asa dan rasa bersalah yang melimpah dalam dirinya. Ia merasa bahwa dirinya seperti terperangkap di dalam lubang gelap selamanya. Tetapi kemudian, episode manik bisa terjadi kembali, dan demikian seterusnya. Anak-anak dengan gangguan bipolar tampak normal diantara kedua episode tersebut (manik-depresif).
DIAGNOSA
Diagnosa didasarkan pada deskripsi yang khas dari episode-episode yang terjadi oleh anak dan orang tuanya. Karena gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas juga dapat menimbulkan gejala yang serupa, maka penting untuk membedakan keduanya. Perlu dilakukan berbagai pemeriksaan untuk menyingkirkan gangguan lain yang dapat menimbulkan gejala yang serupa, misalnya pemeriksaan riwayat medis untuk melihat adanya pemakaian obat-obat tertentu atau pemeriksaan darah untuk melihat apakah terdapat aktivitas yang berlebihan dari kelenjar tiroid.
PENGOBATAN
Gangguan bipolar diatasi dengan obat-obat untuk penstabil mood, misalnya lithium dan obat-obat anti-kejang tertentu, seperti karbamazepin dan asam valproat. Pada kebanyakan kasus, obat-obat anti-psikotik juga bisa digunakan.
Lithium mengurangi kecenderungan perubahan suasana hati pada sekitar 70% penderita penyakit manik-depresif. Efek samping lithium yang bisa terjadi adalah tremor, kedutan otot, mual, muntah, diare, rasa haus, banyak berkemih dan pertambahan berat badan. Lithium bisa memperberat jerawat atau psoriasis, menyebabkan kadar hormon tiroid di dalam darah menurun.Kadar lithium di dalam darah yang sangat tinggi bisa menyebabkan timbulnya sakit kepala, rasa mengantuk, kejang dan gangguan irama jantung. Efek samping ini lebih sering terjadi pada penderita usia lanjut. Wanita yang merencanakan hamil, sebaiknya berhenti mengkonsumsi lithium, karena bisa menyebabkan kelainan jantung pada janin.
Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah obat anti-kejang karbamazepin dan asam valproat. Karbamazepin bisa menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah dan sel darah putih, sedangkan asam valproat bisa menyebabkan kerusakan hati (terutama pada anak-anak). Kedua obat ini terutama efektif diberikan pada penderita penyakit manik-depresif tipe campuran atau yang siklusnya berganti dengan cepat, dan tidak memberikan respon terhadap pengobatan lainnya.
Obat anti psikotik dapat diberikan untuk memperkuat efek stabilisasi mood. Obat anti psikotik yang digunakan adalah yang bersifat atipikal, misalnya Quetiapine, Risperidone, Aripiprazole, atau Olanzapine.
Selain dengan obat-obatan, psikoterapi individu dan keluarga juga dapat dilakukan untuk membantu anak dan keluarganya agar bisa menerima dan mengatasi gangguan yang ada.
REFERENSI
- J, Hugh F. Bipolar Disorder in Children (Manic Depressive Illness). Merck Manual Home Health Handbook. 2009.
- L, D’Arcy. Bipolar Disorder. Kids Health. 2012.
- National Institute of Mental Health. Bipolar Disorder in Children and Teens. Medicine Net. 2009.

Sekarang Sudah Bisa Memantau Kesehatan Mental Melalui Aplikasi Smartphone

MENURUT WHO (World Health Organization), 90 persen dari seluruh jumlah laporan bunuh diri dikarenakan mereka menderita penyakit mental. Ini berarti, ada kebutuhan mendesak untuk adanya layanan pendukung yang membantu dokter dalam mengevaluasi pengobatan pasien gangguan mental.

Teknologi baru yang dikembangkan oleh para peneliti di Tel Aviv University siap memberikan jalan baru dalam metode pengobatan pasien. Dr Uri Nevo, Keren Sela, dan para peneliti di Fakultas Teknik Tel Aviv University dan Sagol School of Neuroscience telah mengembangkan sistem berbasis smartphone yang dapat mendeteksi perubahan pola dalam tingkah laku pasien dan langsung mengirimkannya pada para ahli saat itu juga.

Ini tentu mempersingkat waktu penanganan yang harus dilakukan para psikiater klinis. Dengan memfasilitasi pasien untuk pemantauan lewat smartphone, teknologi ini juga memberi kebebasan bagi pasien untuk tidak terkungkung dalam pengawasan rumah sakit.
Penelitian tentang aplikasi ini dipresentasikan Maret lalu pada acara tahunan Israel Society for Biological Psychiatry. Project ini memenangkan pendanaan dari Kementerian Ekonomi Israel. Tim kini mulai melakukan pembicaraan dengan lembaga-lembaga medis di Israel dan luar negeri untuk mengembangkan pengujian klinis.

Diagnosis atas penyakit mental hanya bisa dideteksi lewat pola tingkah laku. Dalam beberapa kasus, pasien yang keluar dari rumah sakit menjalani hidup mereka dalam kehampaan, tanpa gagasan atau bayangan membangun ‘dunia baru’ dalam pikiran mereka. Karena kini semua orang hampir memiliki smartphone, kami pikir, mengapa tidak memanfaatkannya untuk bisa digunakan memantau perubahan perilaku dalam keseharian pasien,” ujar Dr Nevo, seperti dikutip dari Science Daily beberapa waktu lalu.
“Bipolar disorder misalnya, dimulai dari tekanan batin. Pasien yang biasanya menelepon sehari 5-10 kali, bisa kemudian menelepon puluhan kali dalam sehari. Berapa banyak yang mereka bicarakan, pesan yang mereka kirim, berapa banyak tempat yang mereka kunjungi dan kapan serta berapa lama mereka tidur, dapat dipantau menjadi indikator kesehatan mental mereka dan memberikan informasi penting bagi tenaga medis yang menanganinya untuk melakukan tindakan segera sebelum penderita makin parah.”

Gangguan Bipolar

Mereka yang mengalami bipolar disorder atau gangguan bipolar cenderung membuat keputusan melakukan sesuatu tanpa memikirkan konsekuensinya. Suasana hati mereka sering berubah-ubah dan kerap mengalami depresi. Risiko bunuh diri di kalangan mereka yang mengalami gangguan bipolar juga cukup tinggi.
Menurut tulisan yang terdata di US National Library of Medicine di National Institutes of Health, penyebab pasti penyakit ini belum dapat dijelaskan. Yang pasti, ada pengaruh dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan bisa memicu jika seseorang mengalami stres jangka panjang atau pengalaman yang tidak menyenangkan saat kecil, yang membuat mereka selalu punya pandangan negatif tentang kehidupan.

Bekerja sama dengan para psikiater terkemuka di Geha Mental Health Center dan Be'er Ya'acov Mental Health Center, aplikasi smartphone ini diuji. Dalam uji coba aplikasi ini diinstal di smartphone 20 pasien yang terkena bipolar, unipolar/depressive, atau schizo-affective disorders, dan diinstal juga di ponsel 20 partisipan yang sehat.
Selama enam bulan, melalui aplikasi tersebut diperoleh data dari pasien yang terkirim ke komputer yang telah dilengkapi kemampuan untuk mendeteksi perubahan dalam kebiasaan tidur, berkomunikasi, mobilitas dan berbicara. Para peneliti lebih jauh lagi mengembangkan sistem visualisasi yang menampilkan informasi yang terangkum kepada psikiater, memberikan pandangan melalui gambaran visual dan informasi cepat tentang perilaku pasien mereka.

Menurut Dr Nevo, pasien yang menggunakan aplikasi ini memiliki kontrol penuh atas perekaman ini. “Kami melindungi privasi pasien. Isi telepon dan teks, juga kontak yang ada di telepon mereka, tidak kami ganggu gugat. Kami jaga kerahasiannya,” katanya.
Psikiater yang ikut dalam pengujian ini melaporkan, sistem ini berdampak positif pada interaksi mereka dengan pasien--menjadi semacam “jendela” untuk melihat kondisi pasien. Pasien yang menggunakannya juga membantu mereka untuk tidak dirawat terlalu lama di rumah sakit.

Aprillia Ramadhin / Ahmad Nurullah

Kesehatan Mental dan Gangguan Bipolar: Curahan Hati Seorang Survivor Bipolar Disorder

Apa yang terlintas dibenak kalian ketika mendengar tentang seseorang yang mengidap penyakit psikologis (mental) atau biasa disebut orang awan dengan sakit jiwa atau biasa juga disebut gila?

Mungkin yang dibenak kalian adalah streotip orang gila dengan keadaan yang kacau balau yang biasa terlihat dijalanan, padahal penyakit psikologis ada bermacam-macam dari yang ringan sampai yang berat,  yang namanya sakit tentu mengobati sejak awal lebih berpeluang sembuh atau paling tidak, tidak memperparah sakit daripada ketika penyakit sudah berat.

Banyak orang yang tertimpa gangguan merasa enggan pergi ke psikolog/psikiater/konselor, juga yang ada anggota keluarganya mengalami gangguan menampik gangguan itu, semua dikarenakan malu dengan sebutan gila, memang banyak yang salah dan harus diluruskan, harusnya ada pendidikan tentang kesehatan jiwa, kesehatan jiwa yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik (raga), penyakit psikologis (mental) adalah sumber  penyebab penyakit fisik yang parah.

Ada macam-macam jenis penyakit psikologis (mental), salah satunya “Bipolar Disorder”.  Akhir-akhir ini tidak sedikit orang yang mulai tertarik untuk mengetahui apa itu Bipolar. Ada beberapa teman saya yang bertanya di jejaring sosial, dari hanya dengan kalimat biasa sampai ada yang menjengkelkan  bertanya dengan kalimat bercandaan, tetapi saya tidak boleh marah karena orang itu tidak paham. Sebelum saya mengetahui apa itu Bipolar saya hanya tahu kalo tidak ada jenis lain dari depresi, seperti saya mengira “saya gampang stress, sudah berkepanjangan” artinya depresi (unipolar)”, tapi setelah mulai tahu dari salah satu tayangan ditelevisi dan browsingdi internet, ada jenis depresi lain.

Untuk memudahkan kalian membedakan antara Bipolar Disorders (dulu disebut Manic Depressive) dengan Unipolar selain depresi tentunya adalah mood swing-nya  antara sedih (depressive) dan bahagia (manic). Selain depresi panjang yang saya rasakan saya bisa tiba-tiba saja merasa sudah jauh lebih baik  dan muncul perasaan bahagia. Banyak fikiran negatif  tiba-tiba hilang dan mulai berpikir positif. Tapi juga ada kerugian-kerugian yang saya peroleh dari fase manic ini. (saya baru tahu kemudian itu golongan Bipolar tipe II, karna saya tidak mengalami full manic/euphoria berlebihan sesudah masa anak-anak), ciri-ciri umum pada manic: energi berlebih (sangat aktif), antusias tinggi pada hal yang disukai (over-excited) , percaya diri tinggi, creatifity (banyak ide); juga ada ciri-ciri lain yang menonjol seperti gampang  merasa terganggu dan sensitif.

Saya belum tahu ini bawaan gen atau bukan, gen bawaan adalah faktor umum penyebab Bipolar Disorders, saya merasakan gejalanya sejak anak-anak, pada masa itu juga ada trauma. Memang  saya terlihat sama dengan anak-anak lain yang suka bermain  dan terlihat ceria tapi perasaan sedih dan kecewa juga sering tak terkontrol.  Gejala manic/hypomanic  yang saya rasakan pada waktu itu saya susah tidur dimalam hari kalau saya lagi senang misalnya baru saja mendapat tas sekolah atau mainan baru  hingga saya tetap terjaga sampai dini hari. Disekolah juga kurang dapat mengikuti pelajaran dengan baik meski saya tidak ada kesulitan belajar, tapi kurang perhatian selama dikelas dan hanya mengobrol dengan teman atau asik sendiri karena saya mudah bosan.

Beranjak remaja depresi panjang dimulai, selain itu saya tidak mudah mendapat teman akrab, sifat  yang introvert, saya lebih suka menulis daripada curhat. Akhir masa remaja  baru saya sadari bahwa ternyata  saya moody parah sekali, dalam sehari bisa tiga-empat kali berganti antara senang dan sedih.
Ada yang beranggapan ini hanya proses biasa yang dirasakan semua orang, yang lagi  proses pencarian jati yang dirasakan pada usia remaja atau memasuki awal dewasa, sampai akhirnya saya merasa sudah sangat tidak nyaman. Tidak bisa mengendalikan gangguan Bipolar dengan baik artinya kerugian dalam hal membina hubungan baik dengan orang-orang terdekat, terlebih jika orang-orang itu menyayangi kita dengan tulus. Fase hypomanic dan depresi yang tidak  bisa dikendalikan adalah sama buruknya.

Pengobatan medis dan non medis bisa divariasikan. Biaya yang  tidak sedikit itu adalah kendala dalam proses pengobatan dalam setiap kasus penyakit psikologis. Tapi tidak hanya itu saja, buat ODBD yang mendapatkan dukungan dan perhatian baik oleh orang-orang disekitarnya itu sudah pengobatan alaminya. Saya pernah dengar ada program pengobatan kesehatan jiwa oleh para psikiater, kita bisa berobat dengan biaya yang  murah, itu diperuntukkan untuk masalah kejiwaan (mental) yang sudah berat dan juga pemulihan untuk orang yang baru sembuh dari gangguan kejiwaan supaya dia bisa dapat kembali menjalani kehidupan normal dan diterima ditengah-tengah masyarakat.
Saya berharap ada perhatian serupa untuk ODBD  tapi mengharap  perhatian pemerintah memang masih jauh dari harapan, untuk kasus gangguan kejiwaan berat saja tidak terurus, masih banyak yang berkeliaran dijalan, dipasung bahkan sampai sakit lalu meninggal dunia, tapi sudah ada semacam perkumpulan ODBD dimana kita bisa  saling sharing via online atau datang dipertemuan yang cukup rutin diselenggarakan. ODBD butuh didengarkan karena suara-suara dikepala yang terlalu berisik, belum lagi sulitnya mematikan pikiran saat mau tidur.

Mau men-judge terus-terusan? Silahkan, tapi kita sudah kenyang di-judge dengan kata kasar, apalagi itu kebanyakan orang-orang terdekat, sering itu disebut bentuk perhatian. Lebih baik perhatian seperti itu tidak ada, karena ya itu tadi kami butuh didengarkan. Memang saya belum bisa mengendalikan Bipolar Disorder dengan baik, saya tidak menganggap ini penyakit mungkin karena saya menikmati fase hypomanic saya,  fase itu yang membuat saya bersemangat  dan bergerak untuk melanjutkan proses kreatif saya yang tertunda, yang kadang fase itu justru membawa depresi besar, tanpa mengingat bahwa saya bisa jatuh sangat dalam lagi.  

Jangan terus-terusan meminta ingin dipahami kalau susah mendapatkan itu, kalau belum sekarang ada saatnya nanti.  Teruslah berusaha megendalikannya dan berhenti menyalahkan apapun dan siapapun termasuk diri sendiri, terima dan jadikan diri lebih baik, kemana arah hidup kita adalah kita yang menentukan, setiap detik yang dilewati merupakan pemberian Tuhan dan tanggung jawab masing-masing, bukan tanggung jawab orangtua atau saudara kita. Banyak contoh ODBD yang  menghasilkan karya-karya luarbiasa melebihi orang yang tidak menderita Bipolar Disorder yang bisa dijadikan role model untuk sukses, sukses dalam artian masing-masing orang tentunya. Lakukan apa yang disukai, itu bisa membuat kita berharga, siapa tahu ada potensi besar yang tidak kita duga. Dengan keinginan terus belajar dan berkembang  supaya bisa menghasilkan karya yang berguna ditengah masyarakat,  bukan tak mungkin kan dengan karya dan prestasi itu stigma negatif ODBD akan terhapus dan kita juga mendapatkan nilai lebih karena perjuangan ODBD tidaklah mudah.

*Penulis Essai : Sisit Sita Moidady, terdiagnosis sejak 2012, penulis dan aktifis masalah kesehatan mental.
*Kontak yang bisa dihubungi: email: sitamoidady@gmail.com, twitter: @SitaMoidady

~ Dipublish karena penulis pernah mengadakan semacam event kepenulisan untuk para ODBD yang ingin berbagi pengalaman :) ~

Gangguan Bipolar Rentan Timbul Pasca Melahirkan

WANITA berisiko mengalami depresi paska melahirkan karena hormon yang tidak stabil. Depresi paskamelahirkan tidak boleh dianggap remeh karena bisa berujung pada gangguan bipolar.

Wakil Ketua Seksi Bipolar dan Gangguan Mood lainnya dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr dr Nurmiati Amir, SpKJ (K) mengatakan, penurunan hormon estrogen secara tiba-tiba bisa menyebabkan depresi, termasuk setelah melahirkan. Depresi tersebut bisa saja menghilang setelah hormon kembali seimbang.

"Depresi paska melahirkan harus tetap kita perhatikan karena tidak jarang ini merupakan penanda bipolar. Jadi, apa tanda-tanda depresi yang mungkin menjadi bipolar? Bipolar harus ada episode manik, kalau hanya depresi belum disebut bipolar," katanya di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Lebih lanjut, Dr Nurmiati menjelaskan bahwa depresi pada wanita paska melahirkan bisa sampai tidak mempunyai keinginan untuk makan sama sekali. Selain itu, menurutnya, jika wanita depresi paska melahirkan memiliki rasa bersalah yang berat dan timbul keinginan bunuh diri serta ada gangguan psikotik, maka harus diwaspadai gangguan bipolar.

Gangguan psikotik merupakan kemampuan menilai realitanya terganggu atau menilai sesuatu tidak masuk akal dan bersikukuh memertahankannya serta berhalusinasi. Dr Nurmiati menegaskan bahwa bila depresi disertai gangguan psikotik, maka kemungkinan bipolar menjadi lebih besar.

"Jadi, tidak bisa kita menganggap remeh depresi paska melahirkan. Mungkin bisa hanya bipolar paska melahirkan yang akan hilang dengan sendiri atau mungkin juga depresi bipolar, hanya belum muncul maniknya," simpulnya


http://ns1.kompas.web.id/read/read/2014/06/19/483/1001165/jangan-remehkan-depresi-paska-melahirkan

Jangan Remehkan Depresi: Pria Lebih Berisiko Menyalahgunakan Napza Disaat Depresi

GANGGUAN bipolar bisa berakibat pada penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza). Untuk kasus ini, seorang pria dengan gangguan bipolar lebih berisiko menyalahgunakan napza dibandingkan wanita. Apa pasal?

Wakil Ketua Seksi Bipolar dan Gangguan Mood dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr dr Nurmiati Amir, SpKJ (K), mengatakan bahwa terjadinya penyalahgunaan Napza pada pasien gangguan bipolar dapat disebabkan oleh gejala moodyang menderanya. Misalnya, ketika depresi, pasien gangguan bipolar cenderung memanfaatkan Napza untuk mengobati diri sendiri untuk menghilangkan rasa sedih, murung, dan tidak bisa tidur. Ini terjadi terutama pada laki-laki.


“Karena laki-laki lebih sering melakukan perilaku berisiko. Ketika mania (gejala mood-red) itu datang, mereka lebih sering pergi ke diskotik sehingga berisiko tinggi menyalahgunakan Napza sedangkan perempuan lebih suka ke mal atau pusat perbelanjaan,” katanya pada seminar bertema "Meningkatkan Kepedulian terhadap Gangguan Bipolar dalam Kaitannya dengan Pemakaian NAPZA" di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (18/6/2014). 

Namun, menurut Dr Nurmiati, penyalahgunaan Napza juga bisa mencentuskan terjadinya gangguan bipolar. Keterpaparan secara kronik dengan Napza atau berulang-ulang dapat mencetuskan gangguan bipolar karena efek biologik, yakni terjadinya sensitisasi dan mekanisme kindling.

“Berulangnya penggunaan penyalahgunaan zat menyebabkan gejala putus zat semakin berat sehingga semakin sulit berhenti dari zat,” tutupnya. (ftr) 


http://health.okezone.com/read/2014/06/18/482/1000682/lagi-depresi-pria-lebih-berisiko-salahgunakan-napza

Menepis Stigma: Penderita Gangguan Bipolar Boleh Kok Memiliki Anak

SELAMA siklus episodik, penderita bipolar sering membahayakan diri sendiri, seperti enggan makan, mengurung diri, atau banyak bergerak saat fase manik. Fenomena itu kerap memunculkan banyak anggapan bahwa penderita bipolar tak boleh punya anak. Benarkah, baiknya seperti itu?

Menanggapi hal itu, dr. AAA Agung Kusumawardhani, SpKJ (K) selaku ahli ganguan jiwa, psikiatri sekaligus Kepala Departemen Psikiatri RS. Cipto Mangunkusumo menjelaskan bahwa kehamilan pada penderita gangguan bipolar memang sangat berisiko, mengingat mereka harus mengonsumsi obat yang memiliki efek samping. Terlebih saat efek fase episodik bipolar muncul dan sering merugikan diri sendiri, bahkan melukai tubuh. Namun demikian, terkait semua itu bukan berarti penderita bipolar tak serta merta boleh memiliki anak. Yang utama adalah dukungan orang terdekatnya dan keluarga untuk bisa menjaga janin selama masa kehamilan.



"Memiliki anak itu hak asasi manusia, kita tidak bisa melarang pasien bipolar tidak boleh punya anak. Itu karena penurunan secara genetik tidak terbukti sampai sekarang,” jelasnya kepada Okezone secara eksklusif di Gedung Departemen Psikiatri RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, baru-baru ini.

Dia menambahkan bahwa masalah dari ibu hamil yang memiliki gangguan bipolar karena biasanya setiap hari harus minum obat, sementara tiga bulan pertama harus menjaga kehamilan dengan hati-hati.
“Pasien bipolar disarankan tidak mengonsumsi obat-obatan saat tiga bulan pertama karena tidak ada penelitian yang mengatakan obat aman pada ibu hamil. Terkait semua itu sekali lagi, penderita bipolar itu masih punya kesempatan punya anak, tetapi tetap risikonya harus disampaikan dan kita balik lagi ke pasien bersangkutan," katanya. 


Terpenting, tambah dia, saat obat-obatan disetop untuk pembentukan janin secara optimal, para orang terdekat penderita gangguan bipolar harus berjaga-jaga dan terus mendukung agar kehamilannya tidak terganggu.

"Saat penderita bipolar harus minum obat setiap hari, kemudian berhenti sama sekali saat masa kehamilan, kondisi itu akan berisiko ke kehamilannya. Di sini lah orang terdekat harus berjaga-jaga, kunci penting kehamilan penderita gangguan bipolar bisa terjaga," tutupnya.
(tty)

Haid Diduga Picu Kambuhnya Gangguan Bipolar

Penyebab gangguan bipolar yang diderita perempuan hingga kini belum diketahui. Namun, ketidakseimbangan hormon yang dialami perempuan saat haid ditengarai memicu kondisi bipolar.

Karenanya, Nurmiati Amir, SpKJ (K) menyarankan pasiennya untuk menambah dosis obat pada tiga hari sebelum haid hingga tiga hari sesudah haid. Penambahan dosis tersebut diharapkan bisa menjaga mood pasien tetap pada kondisi eutimik.

"Penyebab pasti gangguan bipolar ini belum diketahui. Tapi, ada faktor keturunan. Bisa skip dua generasi. Di ibunya tidak ada, tapi ada di neneknya, misalnya. Meski faktor keturunan berperan, tapi mesti ada faktor lain yang bisa mencetuskannya," sahutnya.

Faktor lain yang dimaksud adalah faktor stresor yang terjadi pada satu dekade kehidupan, seperti penyiksaan secara fisik, verbal hingga seksual.

Jika faktor stresor bisa ditekan, episode kekambuhan bisa ditahan pada kondisi eutimik. Jika tidak, pasien bisa mengalami empat episode kekambuhan yang cepat (rapid cycling) dalam setahun. Dalam kondisi yang lebih parah, kekambuhan itu bisa terjadi tanpa faktor stresor apapun.

"Edukasi menjadi faktor penting untuk membantu pasien bisa beraktivitas biasa. Tidak hanya pasiennya, tapi juga orang sekitarnya. Jadi, ketika ada sikapnya yang berlebihan, seperti berdandan lebih cantik, bicara lebih cepat, atau uring-uringan, orang sekitarnya bisa menyarankannya untuk ke dokter," sahutnya.

Selain itu, psikoterapi, seperti terapi keluarga dan terapi pernikahan, juga diberikan sebagai bagian dari pengobatan. Terapi ini bisa melibatkan anggota keluarga lainnya untuk menyukseskan pengobatan. Jika kondisinya sudah parah, pasien bisa diterapi dengan kejut listrik.

"Pasien harus memperbaiki gaya hidup, misal tidur teratur, jangan atasi stresor dengan menggunakan alkohol atau narkoba. Pasien juga harus patuh minum obat selamanya," imbuhnya.

Gangguan bipolar ini biasanya mulai terjadi pada usia 20-an. Ada pula yang mulai mengalami bipolar pada usia 60 tahun. Kejadian pada usia senja ini biasanya dicetuskan oleh penyakit lainnya, seperti gangguan kelenjar getah bening. Namun, gangguan ini bisa dideteksi sejak dini.

"Kalau anak hiperaktif dan diikuti perubahan mood yang berfluktuasi, kita sudah harus berpikir jangan-jangan dia mengidap bipolar. Kita harus memeriksakannya sehingga bisa di-manage dari awal. Orangtua tidak bersikap kasar, atau guru tidak menambah faktor stresor, misalnya," tukasnya. (Dinny Mutiah/Bas)
sumber: microsite.metrotvnews.com/lifestyle/read/2013/02/26/913/134013/Haid-Diduga-Picu-Kambuhnya-Gangguan-Bipolar