Sunday, March 17, 2013

Terapi Seni Solusi Bagi Gangguan Jiwa



”Obat membantu secara kimiawi terjadinya pemulihan sel-sel otak. Adapun psikoterapi, seperti terapi seni, dibutuhkan untuk memberi isi pikir yang positif,” kata psikiater Margarita M Maramis dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir Juli lalu, dalam seminar mengenai gangguan bipolar di Jakarta.
Gangguan bipolar merupakan gangguan otak yang ditandai dengan perubahan mood (perasaan), pikiran, energi, dan perilaku. Itu berbeda dengan skizofrenia, yang menurut Margarita juga merupakan gangguan otak, tetapi lebih memengaruhi isi pikir, seperti adanya halusinasi, ilusi, dan delusi.
Pada prinsipnya, bipolar dan skizofrenia membutuhkan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Farmakoterapi alias obat diberikan oleh psikiater.
Adapun nonfarmakoterapi dilakukan lewat psikoterapi dan psikoedukasi. Psikoterapi adalah pemberian aktivitas tertentu, sedangkan psikoedukasi meningkatkan kesadaran pasien untuk mengatasi gangguan penyakitnya dan menurunkan stigma.




”Keduanya bermanfaat agar pasien mengerti cara terbaik berhubungan dengan keluarga, pasangan, dan masyarakat dalam membentuk kehidupan mereka,” kata Margarita.
Keseimbangan

Ahli psikologi klinis Monty Prawiratirta Satiadarma dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, menyebutkan, menjaga keseimbangan hidup memerlukan saluran. Terapi seni merupakan salah satu saluran. ”Fantasi penderita skizofrenia ataupun bipolar sangat luar biasa. Jalur seni rupa paling bisa mewadahi,” ujar Monty.
Ia mengatakan, terapi seni merupakan bagian penting untuk pemeliharaan kesehatan, tetapi di Indonesia masih sedikit dijalankan.
Seni sebagai kegiatan untuk mengekspresikan diri atau pengalaman. ”Untuk menjalankan terapi seni, kemampuan diagnostik menjadi sangat penting,” paparnya.
Seni rupa tiga dimensi lebih tepat diterapkan bagi mereka yang didiagnosis mengalami gangguan mental serta motorik. Seni rupa tiga dimensi seperti membuat patung dengan tanah liat atau adonan kertas (paper clay).
Diagnostik dapat dilakukan dengan mengamati hasil karya lukis pada dua dimensi. Misalnya, penderita menggambar bentuk setan karena ada gambaran setan dalam pikirannya.
”Dengan terapi seni, kita ajak penderita mengubah isi pikiran, di mana gambaran setan diubah jadi malaikat,” katanya.

Seni Inklusif

Dalam diskusi Indonesian Street Art Database, akhir Juli, dua narasumber, Khairani Barokka dan Hana Alfikih, membicarakan terapi seni dan kaitannya dengan disabilitas.
Sebagai advokat seni inklusif, Khairani memaparkan, terapi seni mengubah keadaan diri seseorang dari kurang baik menjadi lebih baik. ”Seperti seni grafiti (street art) untuk mencurahkan isi hati mampu menjadi kegiatan self healing (penyembuhan diri),” katanya.
Khairani menyatakan, sangat sedikit pendidikan psikologi yang memasukkan terapi seni untuk orang-orang dengan disabilitas. Program pemerintah juga masih minim untuk pengembangan terapi seni.
Hana mengungkapkan, seni menjadi bagian penting sejak kecil, terutama ketika ia mengalami halusinasi yang menimbulkan berbagai gangguan, seperti keinginan untuk bunuh diri dan rasa takut terhadap halusinasinya.
Dari psikiater, lanjut Hana, ia mengetahui dirinya mengalami skizofrenia. ”Saya mengalahkan ketakutan saat itu dengan mencoret-coret dinding di kamar,” ujarnya.
Keinginan bunuh diri pun dapat ia redam meski dengan menyakiti diri sendiri. Menyakiti diri sendiri itu belakangan diekspresikan Hana dengan menato beberapa bagian tubuhnya, terutama lengan kirinya.
”Tato-tato ini dikerjakan selama 11 kali. Bukan untuk keindahan, melainkan muncul ketika ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri,” ujarnya.
Menato kulit memang bukan bagian dari terapi seni. Menurut Monty, itu metode pengalihan rasa sakit dengan memindahkan layar proyeksi ke dalam kanvas tubuhnya.
”Ketika tato itu untuk menyakiti diri sendiri, yang perlu dilihat, mengapa muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri?” kata Monty.

Minimnya pengembangan terapi seni dapat dilihat dari agenda pemerintah yang tidak sensitif terhadap fungsi seni. Pemerintah lebih mengutamakan masalah kognitif dan persoalan religi.
”Kita mengalami dehumanisasi yang juga sekaligus denaturalisasi,” tutur Monty.
Secara umum, seni mengutamakan unsur keindahan dan memiliki arah afektif atau mengasihi. Seni juga mendekatkan manusia dengan alam. Seni menjadi jembatan antara dunia luar dan dunia dalam (batin).
Pengabaian seni menimbulkan dehumanisasi, yaitu makin merendahkan martabat atau nilai kemanusiaan, juga denaturalisasi, yang tampak nyata dengan upaya penghancuran alam oleh manusia.




sumber: www.doktersehat.com

Waspadai Gangguan Bipolar pada Anak


Gangguan Bipolar ternyata tidak hanya bisa terjadi pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak bahkan sejak anak dilahirkan. Faktor keturunan atau genetik memiliki andil besar dalam menyebabkan gangguan ini."Karena faktor gen berperan cukup besar yakni sekitar 79 persen. Jadi, waspadai jika anak sudah kelihatan seperti susah diam, gampang marah dan sulit diatur," kata dr. Handoko Daeng, SpKJ (K), Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) saat acara seminar mediaGangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan? di Jakarta.
Menurut Handoko, gangguan bipolar adalah suatu gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi dan campuran. Untuk menegakkan diagnosa bipolar pada anak tidak semudah seperti pada orang dewasa. Karena seringkali gejalanya mirip dengan ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorder).
ADHD adalah gangguan psikologis yang paling sering ditemui pada anak usia sekolah. Gejala utama ADHD adalah hiperaktivitas dan kesulitan mempertahankan konsentrasi.
"Tapi, kalau anak itu sudah besar dan bisa menceritakan perasaan yang dialami, diagnosa akan menjadi mudah," ungkapnya.
Kepala Departemen Psikiatri dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dr. AAA Agung Kusumawardani SpKJ (K) menjelaskan, gejala bipolar pada anak berbeda seperti pada orang dewasa. Kalau pada anak, gejala depresi biasanya akan ditunjukkan dengan perilaku penentangan atau penolakan, seperti misalnya tidak mau sekolah (school phobia).
"Tapi episodiknya tetap sama. Jadi tetap ada periode waktu dimana dia menentang kemudian setelah diatasi menjadi reda. Kemudian ada periode kambuh lagi," jelasnya.
Agung mengungkapkan, pada anak bipolar yang memasuki episode mood mania, anak akan cenderung hiperaktif sehingga seringkali orangtua menganggap anak mereka nakal. Padahal kalau jeli melihat pola tingkah lakunya, orangtua bisa mengetahui bahwa anak mereka sesungguhnya memiliki masalah dengan kejiwaannya.
Menurut Agung, gejala bipolar pada anak memang sering berkembang secara lambat sehingga sulit membedakan apakah hal itu memang pertanda kelainan bipolar atau sebagai karakter normal si anak. Dalam tatalaksana dan menegakkan diagnosis bipolar pada anak, psikiater biasanya akan selalu menayakan tentang riwayat keluarga.
Karena kalau ada riwayat keluarga, berarti prognosisnya kurang baik karena ada kondisi genetik yang berperan. Anak-anak dengan orangtua atau saudara kandung yang mempunyai penyakit bipolar berisiko empat sampai enam kali lebih mungkin mengembangkan penyakit dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat gangguan bipolar di keluarga.
"Gangguan bipolar pada anak cukup banyak. Di RSCM kita punya poliklinik jiwa anak yang khusus menangani gangguan bipolar anak," tutupnya.
Bramirus Mikail www.health.kompas.com

Awas, Gangguan Bipolar Intai Kelas Menengah ke Atas

Pemicunya Stress dan Depresi yang Berlebihan

Tuntutan dan tekanan hidup yang begitu tinggi, terutama pada masyarakat perkotaan memicu rasa frustasi dan depresi yang begitu hebat. 

Mereka yang tidak mampu mengatasinya, penyakit kejiwaan seperti gangguan bipolar mudah sekali hinggap dan merusak tatanan gaya hidup positif. 

Demikian yang dikemukakan oleh Prof Dr Tuti Wahmurti A Sapiie dalam Seminar Media Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan? di Jakarta.

"Gangguan bipolar dicetus oleh permasalahan hidup yang tidak bisa diatasi oleh penderitanya. Tidak cukup hanya obat sebagai medium pengobatan, tapi harus ada penanganan secara menyeluruh dalam mengembalikan kesembuhan penderitanya," jelas Tuti dari Majelis Kehormatan Profesi PDSKJI. 

Ia menjelaskan, kasus bipolar banyak ditemukan pada orang-orang yang tingkat pendidikan dan ekonominya tinggi. Namun bukan berarti orang-orang yang berada di kelas bawah terhindar dari gangguan ini.

“Hanya saja kebanyakan orang kelas bawah lebih mampu menanganinya dengan bersikap lebih pasrah dan bersabar. Berbeda dengan orang menengah atas yang cenderung tidak sabar dan menginginkan perubahan cepat. Ini justru menyulitkan mereka," tambah dr Ayu Agung Kusumawardhani SpKJ, Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.

Gangguan bipolar sendiri, lanjut dia, merupakan gangguan jiwa yang bersifat berulang dalam rentang waktu tertentu dan ditandai dengan gejala-gejala perubahan mood. Gangguan ini biasanya berlangsung selama seumur hidup. 

Ada 5 mood state pada gangguan ini, yaitu:
1. Depresi, jika merasa sangat sedih, menganggap dirinya negatif dan menarik diri dari lingkungan.
2. Eutimia, jika suasana hati dalam keadaan normal.
3. Manik atau mania, jika merasa sangat senang, bersemangat sampai ingin melakukan banyak aktifitas dan melakukan hal tanpa berpikir panjang.
4. Hipomanik atau hipomania, jika merasa cukup senang namun masih bisa mengontrol keinginan.
5. Campuran, jika kondisi depresi bercampur dengan mania.

"Perubahan mood tersebut bisa juga terjadi dengan sangat cepat pada penderita gangguan ini," jelas Ayu. 

Penyebabnya Multifaktor
Penyebab terjadinya gangguan ini meliputi faktor genetik, biologi otak, serta peristiwa-peristiwa kehidupan dan keadaan lingkungan yang menimbulkan stres (stresor psikososial). 

Faktor genetik, lanjut Ayu, menyebabkan seseorang rentan, dan bila yang bersangkutan mengalami stres psikososial yang tidak bisa ditanggulangi dan atasi, maka terjadilah gangguan bipolar.

"Stres psikososial menyebabkan perubahan-perubahan dalam sistem biologik otak manusia sebagai upaya adaptasi yang diawali oleh perubahan sistem hormonal yang kemudian memengaruhi zat kimia alami otak, zat-zat penting lainnya dalam otak, dan sel-sel saraf otak," sambungnya.

Gen berfungsi sebagai regulator yang akan mengatur agar keseimbangan sistem dalam tubuh, termasuk otak terjaga dengan baik. 

"Namun pada orang yang memiliki gen lemah terhadap gangguan bipolar, keseimbangan dalam sistem dopaminergik, serotonergik, dan noradrenergik tidak bisa dijaga. Sehingga terjadi kekacauan dalam sistem ini dan terjadilah gejala-gejala gangguan bipolar," papar Tuti.

Penderita, lanjut dia, cenderung memburuk bila tidak segera ditangani dan dikendalikan. Penundaan dalam mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat akan mengakibatkan penderita mengalami depresi berat. 

Perilaku Menyimpang
Tak hanya itu, penderita juga dapat menunjukkan perilaku yang dapat membahayakan dirinya sendiri, semisal melakukan percobaan bunuh diri, tidak mau makan atau tidur sehingga muncul kelelahan yang sangat hebat. 

“Ia juga dapat melakukan tindakan yang membahayakan orang lain misalnya, ia mempercayai bahwa dunia sebentar lagi akan segera hancur, sangat suram, dan tidak ada harapan sehingga muncul dari pikirannya untuk membunuh anaknya agar terlepas dari kesengsaraan dunia,” imbuh Tuti. 

Atau pada mood state episod mania atau manik, penderita dapat ngebut di jalan raya sehingga membahayakan dirinya dan orang lain, memiliki gairah seksual berlebih yang menyebabkan ia melakukan hubungan seks tidak aman dengan berbagai risiko seperti AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Untuk melakukan diagnosis terhadap gangguan bipolar tidaklah mudah. Terkadang gejala yang bervariasi dan tumpang tindih menyebabkan hambatan dan misdiagnosis, misalnya para penderita gangguan bipolar ini seringkali didiagnosis sebagai penderita psychophrenia

"Masyarakat harus jeli dalam memahami gangguan bipolar, dan bila mencurigai adanya gejala, segera lakukan deteksi dini dan berkonsultasi dengan psikiater," jelas dr Handoko Daeng, SpKJ, Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 

"Keterlambatan dan misdiagnosis akan memberikan dampak fatal seperti meningkatnya risiko bunuh diri, perilaku yang merugikan, atau hilangnya pekerjaan dan resisten terhadap terapi," imbuhnya.


http://www.beritasatu.com
sumber: Yanuar Rahman/Beritasatu

Penderita Bipolar Bukan Orang Gila

Hartono (39) masih pesimistis. Masyarakat sekitar menudingnya tidak waras alias gila. Bahkan sang istri pun menceraikannya. Dia tidak yakin bisa menikah lagi. “Mana ada yang mau menikah dengan saya, setelah tahu saya bipolar?” katanya saat dijumpai dalam seminar “Gangguan Bipolar, Dapat Dikendalikan” di Jakarta.

Pria berputra satu tersebut didiagnosis pertama kali pada usia 13 tahun. “Saya ditemukan overdosis nipam dan pil BK. Tidak bisa ngomong, tidak bisa makan, setelah sadar rocking,” kata Hartono. Dia pun dilarikan ke rumah sakit. Diagnosis pada saat itu adalah skizofrenia. Tiga tahun kemudian atau ketika dia berusia 16 tahun, dia berganti dokter, di Rumah Sakit Dharmajaya. Barulah diketahui dia menderita gangguan bipolar mania.
Ada fase-fase penolakan diri saat dibawa ke rumah sakit. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dia terpaksa difiksasi alias diikat. “Waktu itu seprai, tempat tidur, berantakan semua, setengah mati rasanya,” katanya. Setelah usia 23 tahun, dia baru menerima diri sebagai penyandang bipolar dan dengan sukarela menjalani terapi.
“Masyarakat menganggap saya orang gila, saya kecewa banget. Saya dihakimi. Saya jadi malas bergaul di lingkungan sekitar saya,” katanya. Meski gagal berumah tangga, Hartono beruntung punya orang tua yang menerima dirinya apa adanya serta mendukung kesembuhannya. Dia kini membantu mereka di bisnis mebel. Sekolahnya memang berantakan, meski ketika SD hasil tes intelejensianya mencapai 140, paling tinggi di antara murid lainnya.
Kepada para penyandang bipolar lain dia berpesan, yang terpenting pertama adalah tidak merasa malu. Kalau sudah malu, tidak ke dokter, tidak melapor ke mana-mana. Dia menikah pada 1995, tanpa memberitahukan calon istrinya bahwa dirinya menderita bipolar.
Perceraian tak terhindarkan pada 2003 meski telah menghasilkan seorang putra, yang lahir tepat di malam Natal 1997. Walaupun putranya ikut bersama istri yang kini telah memiliki rumah tangga baru, Hartono mengaku tidak ingin menikah lagi. “Kasihan kan, kalau dia punya bapak tiri juga ibu tiri,” katanya.
Gangguan bipolar atau yang kerap disebut sebagai bipolar disorder, atau manic depression atau bipolar depression adalah penyakit suasana hati. Ciri-cirinya antara lain pergantian antara depresi dengan keadaan euforia atau sangat gembira.
Terdapat lima perasaan (mood) pada gangguan ini, antara lain depresi, campuran, eutimia, manic, dan hipomanik. “Perubahan mood bisa juga terjadi dengan sangat cepat,” kata Kepala Departemen Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), AA Ayu Agung Kusumawardhani.
Orang Terkenal
Banyak orang terkenal yang menderita bipolar disorder, antara lain Vincent van Gogh, Connie Francis, Ernest Hemingway, Florence Nightingale, Sidney Sheldon, Sinead O'Connor, dan Robert Schuman. Penyanyi Sinead O’Connor dalam wawancara dengan BBC mengaku lebih kalem dan tenang setelah dokter mendiagnosisnya menderita bipolar.
"Hal itu menjelaskan banyak soal kemarahan, pertengkaran, percobaan bunuh diri dan bahkan kemarahan ketika sebenarnya sedih. Menjalani perawatan berarti saya punya kesempatan untuk hidup normal,” katanya.
Menurut Handoko Daeng, Ketua Seksi Bipolar, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI), menegaskan kembali bahwa memang orang terkenal seperti Ernest Hemingway dan Vincent van Gogh merupakan penderita bipolar. “Mereka berani berpikir out of the box. Orang bipolar adalah orang dengan risk taking behavior yang tinggi. Mereka bisa melahirkan ide-ide aneh,” katanya.
Banyak keluarga orang terkenal yang kemungkinan menderita bipolar. Misalnya yang kawin-cerai berkali-kali atau memiliki perilaku seksual yang luar biasa. Jika menemui orang yang mudah marah dan tersinggung di suatu kali dan sangat gembira di kali yang lain, masyarakat harus mengetahui hal ini merupakan gangguan kejiwaan yang bisa dikendalikan, dan bukan sifat bawaan.
“Banyak istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena pasangannya bipolar,” kata Handoko. Bahaya dari penderita bipolar bila tidak terdeteksi, tidak hanya kemungkinan yang bersangkutan bunuh diri, tetapi juga kualitas hidup keluarga dan lingkungannya. Karena ada penderita bipolar yang senang berbelanja hingga menghabiskan puluhan juta rupiah, sehingga keluarganya harus membayar tagihan kartu kreditnya yang membengkak.
Ada juga yang memiliki cicilan lima apartemen. Kasus lain yang sedang ditangani Tuti Wahmurti, Perwakilan Majelis Kehormatan Profesi PDSKJI, penderitanya suka berderma dan suka memberi donasi ke mana-mana hingga keluarganya kewalahan. Bahkan, ada penderita yang pernah membawa perhiasan serta surat tanah lalu memberikannya kepada sang dokter, yang tentu saja menyimpan dan mengembalikannya kepada keluarga.
Deteksi dini gangguan bipolar dapat dilakuan dengan menggunakan The Mood Disorder Questionaire (MDQ).
Gejala-gejala pada pasien antara lain perasaan gembira yang lebih dari biasanya, sangat mudah terganggu, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, merasa tidak memerlukan waktu untuk tidur, banyak bicara, atau berbicara lebih cepat dari biasanya, energetik dan sangat aktif, memikirkan banyak hal sekaligus, konsentrasi mudah teralih, memiliki masalah pada lingkungan sosial dan pekerjaan, lebih tertarik pada seksualitas (tidak semua), dan memiliki perilaku yang berisiko dan boros.
Jika dapat dideteksi secara dini, penderita bipolar bisa hidup normal seperti orang biasa. Apalagi obat-obatan kini tersedia tidak saja melalui Jaminan Kesehatan Masayarakat (Jamkesmas) dengan harga yang sangat murah, Asuransi Kesehatan (Askes) pun juga ada.
Bahkan, sebuah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat bipolar mempersiapkan tim pemasaran yang mengampanyekan kartu khusus keanggotaan agar masyarakat bisa membeli obat dengan harga lebih murah ketimbang di apotek.

Sumber : Sinar Harapan http://www.shnews.co
Natalia Santi