Tuesday, January 7, 2014

Ternyata: SMS Bermanfaat Sebagai Terapi Depresi

Bagi pengguna telepon seluler, aktivitas ber-SMS (short message service) tentu sudah menjadi ritual sehari-hari. Fitur standar yang terdapat di semua jenis ponsel itu, hingga kini, masih menjadi primadona banyak orang untuk saling berkirim pesan.

Berdasarkan penelitian Profesor Adrian Aguilera dari University of California-Berkeley, AS, SMS ternyata tidak hanya berguna untuk berbagi segala bentuk informasi. Kegiatan berkirim pesan lewat teks itu juga terbukti mampu menangkal depresi.

Aguilera yang merawat banyak orang berpenghasilan rendah yang mengalami depresi dan gangguan mental mengatakan bahwa pasiennya mengaku merasa lebih diperhatikan dan tersentuh saat menerima SMS yang menanyakan suasana hatinya. Hal itu menggambarkan interaksi yang positif.

"Ketika berada dalam situasi sulit dan menerima pesan SMS, pasien merasa jauh lebih baik, merasa diperhatikan dan didukung. Suasana hatinya juga ikut meningkat," kata Aguilera seperti dilansir Health24.com.

Penelitian yang dimuat jurnal Professional Psychology: Research and Practice itu dimulai pada 2010, ketika Aguilera mengembangkan program SMS yang disesuaikan untuk program intervensi pasien dengan bantuan Ricardo Munoz, psikolog dari University of California-San Fransisco, AS.

Pasien Aguilera dikirimi pesan SMS otomatis yang mendorong untuk berpikir dan menjawab kondisi suasana hatinya serta tanggapannya mengenai interaksi sehari-hari yang positif dan negatif.

"Kami memanfaatkan teknologi yang digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kesehatan mental masyarakat berpenghasilan rendah dan kurang terlayani," ungkap dia.

Psikolog klinis itu mendapatkan ide mengenai SMS ketika menyadari bahwa banyak pasiennya mengalami kesulitan menerapkan keterampilan yang dipelajari saat terapi untuk kehidupan sehari-hari. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh meningkatnya stres yang dihadapi setiap hari. 

Pasiennya itu tidak mampu membeli laptop, ta

blet elektronik, atau ponsel pintar, tetapi kebanyakan punya telepon seluler biasa dan dapat membayar pulsa bulanan.

"Orang yang saya rawat tidak memiliki akses komputer dan internet secara langsung. Jadi, saya menggunakan ponsel untuk mengirim pesan SMS yang mengingatkan pasien agar melatih keterampilan yang diberikan saat terapi," ujar Aguilera.

Umpan balik dari pasien menawarkan wawasan baru mengenai kebutuhan untuk melakukan kontak biasa atau pemeriksaan oleh profesional kesehatan mental, bahkan hanya lewat teknologi komputer yang serba-otomatis.

Sesi pesan SMS dirancang untuk berlangsung hanya beberapa minggu, namun sekitar 75 persen pasien meminta agar tetap dikirimi pesan SMS terus. Ketika program sempat macet selama seminggu karena masalah teknis, beberapa pasien benar-benar terlihat mengalami perbedaan. Mereka terlihat merasa kehilangan dan ingin kembali menerima SMS.

Hipotesis Aguilera terbukti membuahkan hasil nyata bahwa pasien memang lebih cepat membaik karena tingkat depresi yang menurun setelah sering saling mengirim SMS.

Lewat keberhasilan penelitiannya tersebut, Aguilera mengaku termotivasi untuk terus menerapkan terapi SMS guna menyembuhkan pasiennya. "Saya berencana menggunakan telepon seluler untuk mengirim pesan dan mengingatkan pasien melakukan hal yang sama saat sesi terapi," terang Aguilera. 


http://forum.kompas.com/teras/87606-ternyata-sms-bermanfaat-sebagai-therapy-depresi.html

Terapi Musik Aktif Bantu Lawan Penyakit


Musik merupakan salah satu elemen yang tidak bisa dilepaskan dalam keseharian. Rangkaian nada alunan musik mampu meningkatkan mood dan memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Musik juga bisa menjadi sarana relaksasi maupun terapi. 

Untuk relaksasi, seseorang yang hanya sebatas mendengarkan alunan nada, ini disebut musik pasif. Sedangkan untuk terapi, pasien bisa ikut menyusun komposisi atau menyumbang lirik. Untuk musik sebagai terapi, ini merupakan jenis musik aktif. 

Musik untuk terapi membantu penyembuhan dari dalam, misalnya mengatasi depresi. Dengan membantu memperbaiki kondisi depresi, pasien diharapkan mau berobat. Kemauan melawan penyakit akan memperbaiki kualitas hidup pasien, yang menentukan kesembuhannya. 

"Sebetulnya tidak hanya dari sisi psikologi, musik juga membantu penyembuhan dari sisi fisik, mental, estetika dan spiritual. Musik juga mampu meningkatkan keterampilan motorik dan fungsi kognitif," kata pendiri Institut Musik Daya Indonesia (IMDI), Prof Tjut Nyak Deviana Daudsyah, DA.Mus.Ed pada kampanye edukasi Artritis Rematoid di Jakarta

Beberapa jenis penyakit yang menggunakan musik sebagai terapi pendukung adalah stroke, penyakit jantung, gangguan neurologis dan epilepsi, serta gangguan psikologi. 

Lebih jauh Tjut mengatakan, musik yang digunakan untuk terapi berbeda dan bersifat spesifik antar pasien. Hal ini dikarenakan selera musik tiap orang yang berbeda. Apalagi pada terapi musik, pasien bisa ikut berpartisipasi. 

Namun memang ada jenis musik tertentu yang walau menjadi favorit pasien, disarankan untuk tidak didengarkan selama terapi. Jenis ini antara lain heavy metal, punk, atau musik hardcore lainnya. 

"Musik untuk terapi sebaiknya memiliki frekuensi dan volume yang tidak terlalu tinggi atau rendah. Seorang terapis musik memang punya repertoir sendiri. Namun repertoir ini sangat fleksibel bergantung pada selera dan jenis musik yang biasa didengar pasien," terang Tjut. 

Kemampuan musik sebagai terapi pendukung juga diakui internist dari RS Hasan Sadikin, Bandung, dr Andry Reza Rahmadi, SpPD, MKes. Menurutnya, sebagai terapi pendukung non obat, musik berperan penting dalam peningkatan kemampuan perlawanan terhadap penyakit. Hal ini bisa dicapai karena musik membantu keseimbangan emosi dan menghilangkan depresi pasien. 

"Kalau sudah ada kemauan maka pasien akan mengikuti seluruh proses pengobatan. Keinginan untuk tidak menyerah inilah yang kemudian menentukan perbaikan kualitas hidup pasien," kata Andry.

Rosmha Widiyani - http://health.kompas.com

Editor :
Wardah Fajri