Sunday, June 15, 2014

Kaitan Antara Trauma Masa Lalu Dengan Kesehatan Jiwa


Masa lalu itu penting. Kita dibentuk oleh masa lalu kita. Tentu saja, kita tetap punya kebebasan. Tetapi, kebebasan itu pun juga dibatasi oleh masa lalu kita.
Salah satu bagian masa lalu yang amat penting untuk disadari adalah tentang kehidupan orang tua kita. Sedari kecil, kita membangun hubungan dengan orang tua kita. Mereka, tentu saja, bukan manusia sempurna, tetapi memiliki segala bentuk kekurangan. Kekurangan itu pula yang membentuk kita sebagai manusia, sekaligus cara kita berpikir, merasa, dan melihat dunia, ketika kita dewasa, termasuk segala ketakutan dalam hidup kita.

Di dalam bukunya yang berjudul Trauma, Angst und Liebe: Unterwegs zu gesunder Eigenständigkeit. Wie Aufstellungen dabei helfen (2013), Franz Ruppert, Professor Psikologi sekaligus praktisi psikoloanalitik di München, berpendapat, bahwa orang tua juga bisa mewarisi trauma yang mereka punya kepada anaknya. Jadi, orang tua tidak hanya mewariskan ciri fisik, tetapi juga ciri psikologis kepada anaknya. Ciri psikologis itu bisa berupa karakter diri, tetapi juga trauma.

Trauma lintas generasi

Trauma ditandai dengan kegelisahan batin. Orang tak bisa merasa tenang, karena ia hidup penuh dengan ketakutan. Ia takut dengan masa depan, dan berbagai ketidakpastian hidup lainnya. Ruppert mencoba memetakan trauma manusia, terutama dalam kaitannya dengan hubungan orang dengan orang tuanya.
Akar dari trauma adalah rusaknya hubungan antara manusia. Dampaknya adalah ketidakbahagian hidup.

Orang sulit menjalankan tugas sehari-hari. Hidupnya terasa tanpa tujuan dan tanpa makna.
Akar dari perasaan-perasaan ini adalah hubungan dengan orang tua, terutama hubungan dengan ibu. Ibu yang memiliki trauma dalam dirinya akan menularkan trauma itu ke anaknya. Inilah yang disebut sebagai trauma antar generasi. Trauma itu ditularkan melalui pola hubungan antara ibu dan anaknya.
Kemungkinan besar, si ibu juga mewarisi trauma dari orang tuanya, lalu ia meneruskannya ke anaknya di kemudian hari. Si anak, walaupun masih muda, sudah merasa depresi dan tidak memiliki tujuan hidup. Ia masih muda, tetapi sudah hidup layaknya orang yang mengalami begitu banyak kekerasan. Dari pola ini, kemudian berkembang beragam bentuk gangguan psikologis lainnya, mulai dari kecemasan, depresi bahkan sampai schizophrenia.

Namun, trauma ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Manusia bisa menyadarinya, kemudian melampauinya. Yang diperlukan adalah pengetahuan mendalam tentang apa itu trauma. Pengetahuan yang setengah-setengah tidak akan membantu, malah justru akan memperbesar trauma itu sendiri.

Jiwa Manusia

Trauma terjadi pada jiwa manusia. Ia bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka jiwa. Ketika badan sakit, ada banyak kemungkinan penyebab. Salah satu yang paling sering ditemukan, menurut Ruppert, adalah penyakit tubuh yang berakar pada trauma. Ini yang biasa disebut sebagai psikosomatik, yakni penyakit tubuh yang akarnya pada situasi jiwa.

Di dalam filsafat dan psikoanalisis, jiwa adalah bagian dari manusia yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Pertama, jiwa adalah pintu manusia menuju kenyataan. Tanpa jiwa, tubuh tidak akan berarti apa-apa. Manusia tidak bisa terhubung dengan kenyataan di luar dirinya.

Peran kedua jiwa adalah melakukan seleksi terhadap segala bentuk pengetahuan yang masuk ke dalam kepala kita. Kenyataan itu amat rumit. Sebagai manusia, kita tidak bisa menerima semua informasi yang ada. Disinilah peran jiwa, yakni sebagai penyeleksi segala bentuk informasi yang masuk ke kepala kita, sehingga bisa diolah.

Jiwa juga bukan sesuatu yang statik. Ia kreatif dan fleksibel. Ia memungkinkan manusia melampaui masalah-masalahnya, dan juga melampaui penderitaan-penderitaannya. Ia membuat manusia tidak menjadi budak dari kenyataan.
Karena fleksibel dan kreatif, jiwa juga membantu manusia untuk menjaga kelestarian dirinya. Ia mendorong manusia untuk jatuh cinta dan berkembang biak. Pria dan wanita, menurut Ruppert, memiliki jenis jiwa yang berbeda. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mengembangkan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Jiwa memungkinkan manusia untuk memahami dunianya, berpikir, mengingat dan membentuk kesadaran dirinya. Jiwa menyeleksi sekaligus mengolah informasi yang kita tangkap dari dunia. Jiwa juga menuntun tindakan kita sehari-hari. Jiwa adalah elemen utama dalam diri manusia yang memungkinkan bagian-bagian biologisnya (organ tubuhnya) bergerak dan berkembang.

Trauma dan Jiwa

Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Ketika orang mengalami peristiwa yang traumatis, misalnya pengalaman kekerasan, maka hubungan antara tubuh dan jiwanya akan rusak. Ketika ini terjadi, orang akan mengalami rasa cemas, takut dan depresi yang membuatnya tak bisa merasakan kebahagiaan. Pengalaman kekerasan ini muncul sebagai akibat dari rusaknya hubungan dengan orang lain.
Banyak orang mengalami sakit berulang. Akarnya kerap bukan melulu fisik, tetapi juga aspek jiwanya. Maka, obat fisik tidak akan cukup. Trauma harus disadari, lalu coba untuk dilampaui.
Dalam arti ini, kesehatan manusia tidak pernah hanya merupakan kesehatan tubuh semata, tetapi juga kesehatan jiwa. Tepatnya, kesehatan adalah hubungan yang harmonis antara tubuh dan jiwa, karena orang bisa melampaui trauma-trauma yang ia alami. Trauma tidak bisa dihindari, karena hubungan dengan orang lain tidak bisa selalu baik. Namun, trauma bisa disadari dan kemudian dilampaui.

Jiwa dan Otak

Jiwa manusia bukanlah sesuatu yang mengambang secara metafisis, melainkan selalu terkait dengan sisi biologis manusia. Organ yang paling erat hubungannya dengan jiwa adalah otak. Berpijak pada pelbagai penelitian yang ada, Ruppert membagi tiga jenis otak manusia, atau tiga perkembangan otak manusia. Yang pertama adalah otak reptil, atau das Reptiliengehirn yang berfungsi secara dasariah untuk menjaga keberlangsungan diri manusia, misalnya dengan menyerang musuh untuk mempertahankan diri, dan sifat instingtif.

Bagian kedua adalah otak mamalia. Fungsinya adalah untuk merasa dan mencintai. Bagian ini juga memungkinkan orang untuk merasakan keterkaitan dengan satu kelompok, atau keluarga. Bagian ketiga adalah bagian otak kanan. Bagian ini, menurut Ruppert, memungkinkan manusia melakukan analisis sebab akibat atas berbagai kejadian di dunia, juga merumuskan ide dan membentuk kesadaran akan jati dirinya 


Jiwa manusia memiliki tiga keadaan dasar, yakni keadaan senang, penuh tekanan dan keadaan traumatik. Ketika orang merasa senang, dunia seolah terbuka untuknya. Dia siap untuk merengkuh beragam kemungkinan yang ada. Kecemasan jauh dari hidupnya.
Ketika orang merasa tertekan, dunianya seolah tertutup. Ia selalu terjaga dan cemas. Ia tidak bisa tenang. Ia selalu waspada, andaikan nasib buruk menimpanya.
Ketika orang merasa tertekan, ia menjalani hidupnya dengan berat. Ia butuh banyak sekali energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Tertekan adalah dampak langsung dari trauma yang terpendam. Di dalam keadaan ini, orang akan gampang lelah, walaupun hanya melakukan pekerjaan yang ringan.
Keadaan ketiga adalah keadaan trauma, yakni ketika orang mengalami peristiwa yang amat menyakitkan dirinya. Jejak peristiwa itu masih terasa, walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu. Di dalam keadaan ini, orang akan melihat dunia secara gelap. Kenyataan menjadi begitu menyakitkan, walaupun ia hanya menjalani kegiatan sehari-hari yang biasa.

Ikatan dengan Ibu

Jiwa manusia berkembang dari sejak orang masih bayi. Faktor penting pertama dari perkembangan jiwa adalah hubungan dengan ibu. Anak yang baru lahir ke dunia melihat dirinya sama dengan ibunya. Ia merasa, bahwa seluruh dunia adalah ibunya sendiri. Ini terjadi secara tidak sadar.
Dari ikatan dengan ibu ini, emosi lalu mulai berkembang. Pengaruh ibu amatlah besar pada anaknya. Secara pasif, anak menerima pengaruh tersebut. Namun, secara aktif dan kreatif, anak berusaha menggapi ibunya, guna memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Dasar alamiah dari hubungan ibu dan anak adalah hubungan cinta. Jika hubungan cinta ini ada, maka anak akan berkembang sebagai manusia yang sehat. Jika tidak, ia akan mengalami tekanan dan trauma dalam hidupnya. Keadaan jiwa yang tertekan di dalam diri anak, yang terbawa sampai dewasa, adalah dampak dari rusaknya hubungan dekat dengan ibu.

Ibu yang mengalami trauma biasanya juga bersikap tidak pas pada anaknya. Ini menganggu hubungan cinta, yang seharusnya terjadi di antara mereka. Trauma tersebut akhirnya menular ke anaknya. Ketika ini terjadi, dunia anak tersebut akhirnya runtuh.
Ayah juga berperan besar. Supaya anak memiliki kemandirian, ia juga harus memiliki jarak dengan ibunya. Ia butuh pengalihan, supaya ia tidak terlalu terpaku pada ibunya. Disinilah peran ayah, menurut Ruppert.

Kebutuhan Jiwa
Jiwa yang sehat akan menghasilkan kepribadian yang sehat, yang bahagia dan bebas. Hubungan dengan orang tua, terutama ibu, berperan amat besar dalam hal ini. Untuk bisa menjadi pribadi yang sehat, orang harus mendapatkan ini dari hubungannya dengan orang tua; perlindungan, kepastian, cinta, merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan kemandirian. Semuanya berakar pada dua kebutuhan mendasar jiwa manusia, yakni kemandirian dan hubungan dengan orang lain.

Jadi, perkembangan jiwa manusia tergantung pada tegangan antara kemandirian, dan hubungan dengan orang lain. Krisis jiwa manusia terjadi, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi. Jika ditelaah lebih dalam, menurut Ruppert, kebutuhan akan hubungan dengan orang lain dapat dipetakan ke dalam unsur-unsur berikut: mendapatkan asupan gizi (dengan orang tua), merasa hangat, kontak fisik, dilihat, diperhatikan, dimengerti, didukung, menjadi bagian dan diterima sebagai manusia.

Ketika ini tidak didapatkan, orang lalu hidup dalam tekanan. Ketika ia menjalin hubungan dengan kekasihnya, ia berharap, kekasihnya akan memenuhi kebutuhan ini. Akan tetapi, hubungan dengan kekasih berbeda dengan hubungan antara ibu dan anak. Maka, kekecewaan berikutnya akan timbul, karena pasangan tidak bisa memenuhi kebutuhan jiwanya.

Kebutuhan akan kemandirian, menurut Ruppert, dapat dipetakan sebagai berikut: persepsi mandiri, berpikir mandiri, merasa sendiri, menjadi mandiri, menemukan kedamaian dalam diri, membuat sesuatu sendiri, menjadi merdeka, merasa bebas dan membuat keputusan sendiri. Sekali lagi haruslah ditekankan, bahwa peran ibu amatlah besar di dalam memenuhi kebutuhan ini pada diri setiap orang di awal-awal masa hidupnya. Kegagalan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini juga bisa menciptakan trauma sendiri bagi anak.
Trauma adalah bekas dari peristiwa yang mengancam jiwa. Trauma itu meninggalkan rasa sakit, dan orang harus terus menekannya, supaya orang bisa hidup. Ketika orang mengalami trauma, jiwanya terpecah. Dunia seolah menjadi gelap, dan energi habis, karena orang harus terus menekan trauma yang ia rasakan.

Bagian Jiwa Manusia
Pada titik yang parah, trauma membuat perasaan orang membeku. Ia tidak bisa lagi merasa apapun. Orang lalu lari ke dalam pikirannya, dan meninggalkan kenyataan yang ada. Ia menciptakan dunia sendiri di dalam kepalanya, dan bahkan identitas dirinya terpecah.
Ketika mengalami trauma, menurut Ruppert, jiwa manusia terpecah menjadi tiga. Bagian yang sehat tetap ada. Trauma tidak pernah total menghancurkan jiwa manusia. Lalu, ada bagian yang berisi ilusi yang diciptakan manusia untuk mempertahankan kesehatan jiwanya, dan ada bagian yang berisi trauma itu sendiri.
Trauma pertama yang mungkin dialami anak adalah dalam hubungannya dengan ibunya. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, kerap kali ibu juga mengalami trauma yang belum terselesaikan. Ketika ibu yang trauma mengasuh anak, trauma tersebut akan mempengaruhi hubungannya dengan anaknya. Akhirnya, anaknya pun akan mengalami trauma juga yang disebut Ruppert sebagai trauma dalam hubungan
.
Ada tiga bentuk trauma yang mungkin dialami seorang ibu. Yang pertama adalah trauma kekerasan, mungkin dari masa kecil atau masa dewasanya. Yang kedua adalah trauma kehilangan, mungkin karena kehilangan anggota keluarga tercinta. Yang ketiga adalah krisis jati diri yang kerap muncul, ketika si ibu kehilangan pegangan nilai dalam hidupnya.

Di dalam trauma hubungan, ada beberapa ciri yang bisa diperhatikan. Yang pertama adalah keterputusan emosional, yakni si ibu tidak mampu menjalin ikatan emosi dengan bayinya. Yang kedua adalah tidak adanya rasa hormat terhadap keberadaan anaknya. Si ibu mengabaikan anaknya, atau bahkan melakukan kekerasan langsung terhadap anaknya.
Yang ketiga adalah hubungan yang tidak ajeg. Suatu saat, ia bisa begitu baik pada anaknya. Namun, pada saat lain, ia bisa berubah total menjadi sosok yang penuh dengan kemarahan dan kebencian. Anak yang menjadi korban trauma di masa lalu, biasanya karena korban kekerasan, cenderung akan menjadi pelaku di masa datang.

Menuju Kebebasan dan Kemandirian
Anak yang sehat biasanya penuh dengan energi. Ia mampu mencari kebutuhannya sendiri, misalnya dengan meminta secara aktif kepada orang tua, atau berusaha mencari sendiri. Ia kreatif, terlihat bahagia, dan terbuka pada segala bentuk pengetahuan tentang dunia.
Sebaliknya, anak yang penuh dengan trauma dan tekanan, biasanya karena hubungan yang jelek dengan orang tuanya, kerap murung. Ia merasa tak dicintai. Ia merasa diabaikan, kesepian, takut dan memiliki kemarahan yang ditekan. Ketika ia dewasa, ia terus hidup dalam emosi negatif, dan seolah tak berdaya, serta tak mampu menemukan jalan keluar dari penderitaannya.
Untuk melawan trauma, biasanya orang membangun ilusi di dalam kepalanya. Hubungannya yang jelek dengan orang tuanya dilupakan, lalu ia bisa membangun gambaran baru yang sama sekali lain dari kenyataan yang ada. Ia menipu dirinya, supaya bisa tetap hidup. Ia bahkan bisa memuja ibunya yang di masa lalu kerap melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Namun, ilusi semacam itu butuh amat banyak energi. Pada titik yang parah, orang tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Ia merasa terasing dengan dirinya sendiri. Hidupnya seolah tanpa makna dan tujuan. Ini terjadi, karena ia mewarisi trauma dari orang tuanya. Dampaknya beragam, yakni kecemasan akut, depresi dan kecanduan pada narkotika.

Lalu, bagaimana cara kita melampaui trauma? Ruppert menegaskan, bahwa trauma tidak pernah mutlak. Bagian diri yang sehat selalu ada. Maka, terapi trauma adalah upaya untuk memperkuat sekaligus memperbesar sisi sehat tersebut. Ketika sisi sehat menguat, maka sisi traumatis otomatis akan mengecil, walaupun tidak akan pernah hilang.
Ilusi yang kita bangun untuk bertahan hidup melawan trauma juga perlu dilampaui, kata Ruppert. Ilusi itu tidak membantu, karena hanya menghabiskan energi kita. Energi tersebut seharusnya diarahkan untuk mengembangkan sisi sehat yang masih ada. Jika sisi sehat dalam diri kita ini berkembang, maka kita akan merasakan kebebasan dan kemandirian dalam hati. Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.


Mari Kelola Sampah Emosi

Ada kekuatan yang sangat besar pada diri kita, tetapi kekuatan tersebut tidak serta merta bisa kita manfaatkan sepenuhnya. Kita pernah melihat ada orang yang bisa mematahkan lempengan baja, bisa menarik sebuah kendaraan truk besar seorang diri, ada yang bisa mengangkat ini itu, bahkan bisa menghipnotis sekian banyak audiens; orang-orang tersebut sebelumnya melatih diri mengatur secara teratur untuk memunculkan kekuatan yang ada pada pada dirinya.

Sejatinya kekuatan itu timbul karena kita punya emosi. Jika kita bisa mengelola emosi dengan baik, maka kekuatan fisik maupun non fisik akan muncul dengan sendirinya dan kadang bahkan tanpa kita sadari.

Mungkin kita pernah melakukannya: memecahkan piring atau bahkan menendang koleksi keramik saat marah.

"Ah...kalau cuma banting piring atau memecahkan keramik sih tidak perlu kekuatan!"

Jangan salah, pada keadaan sadar dan tanpa indikasi apapun, tentu kita akan berpikir 100x untuk memecahkan sebuah piring. Untuk apa kita pecahkan, kan piringnya masih bermanfaat? Untuk apa kita tendang koleksi guci keramik kita, kan masih bagus untuk hiasan ruang tamu?

Kita pernah mendengar kisah-kisah heroik: ada orang yang bisa melompati sungai yang lebarnya mencapai 6 m lebih, dan ada orang bisa melompati pagar yang tingginya 4 meter lebih, padahal tidak memakai galah. Hal itu terjadi karena orang tersebut sangat ketakutan, dia harus menyelamatkan dirinya dari ancaman maut. Kalau dipikir pakai logika normal, orang tersebut tidak akan mampu melompati sungai atau pagar selebar dan setinggi itu. Tetapi mengapa ini bisa, hal ini karena adanya kekuatan yang luar biasa yang muncul di saat orang tersebut sangat ketakutan dan sekuat tenaga dia berusaha menghidar dari ancaman yang mengakibatkan ketakutan itu.

Mengorbankan waktu, harta benda bahkan diri kita sendiri di saat kita jatuh cinta, sungguh luar biasa kekuatan yang ditimbulkan oleh perasaan yang satu ini! Kita siap melakukan apa saja di saat kita sedang jatuh cinta demi untuk mendapatkannya. Kekuatan itu akan muncul secara menggebu-gebu dan seakan kita siap dan bisa melakukan apa saja yang dikehendaki olah sesuatu yang kita cintai. Tidak perlu penjelasan yang detail, kita semua pasti setuju jika kita sedang jatuh cinta, apapun akan dilakukan.

Mari kita simpulkan, kekuatan yang ada pada diri kita belum sepenuhnya kita manfaatkan, kita bisa memanfaatkannya dengan baik jika kita mampu mengontrol EMOSI pada diri kita. Emosi yang sangat mempengaruhi tingkah polah kita ada tiga hal. Yaitu MARAH, TAKUT. dan CINTA.

Jika kita bisa mengelola tiga emosi tersebut, bukan tidak mungkin kita akan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Kita marah dalam hal yang wajar jika kita tidak melakukan pekerjaan dengan baik, kita marah jika kita tidak sukses, kita ketakutan jika kita tertinggal dengan yang lain, kita takut jika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan sehingga mendorong kita untuk belajar dengan gigih untuk mencapainya. Cintai apa yang telah kita miliki, cintai apa yang telah kita lakukan, dengan demikian kita akan melakukan dengan iklas untuk menjalankan dan melaksanakan tugas-tugas untuk mencapai sukses.

Jadi marah bukan asal marah, takut bukan berarti pecundang, dan cinta adalah kunci dari kebahagiaan hidup kita.

Semoga bermanfaat...!
Salam luar biasa...!!


Sumardi
http://www.andriewongso.com/articles/details/3887/Kelola-Emosi-Untuk-Sukses

Tujuh Kiat Sederhana Mencapai kehidupan Yang Damai dan Bahagia

Ulasan berikut adalah tentang tujuh kiat praktis untuk menjaga hidup bahagia dan damai.

Penting dipahami dulu apa itu kebahagiaan. Memperdalam filosofi kebahagiaan adalah tahap dasar yang mesti dipahami lebih dulu. Hal ini akan menentukan cara hidup kita selanjutnya.

APA ITU KEBAHAGIAAN?
Umumnya orang menganggap kebahagiaan dan kesenangan adalah sama. Padahal itu adalah hal yang berbeda. Penderitaan dan kesenanganlah yang sama, karena keduanya didasari bentuk ketegangan. Filosofi kebahagiaan yang mendalam adalah pemahaman bahwa kebahagiaan itu tanpa sebab. Penderitaan dan kesenanganlah yang memiliki penyebab, karena itu penderitaan dan kesenangan bisa diatasi. Segala hal yang bisa muncul pasti bisa lenyap. Penderitaan bisa muncul, maka penderitaan bisa lenyap. Demikian juga kesenangan. Sedangkan kebahagiaan tidak ada sebab, karena itu kebahagiaan tidak bisa berakhir. Pengertian ini menunjukkan bahwa kebahagiaan termasuk hal yang tak terkondisi (unconditional), sedangkan penderitaan dan kesenangan bersifat terkondisi (conditional).


EMPAT KUADRAN
Memahami aspek kebahagiaan lainnya adalah dengan memahami adanya 4 kuadran. Kuadran ini dibagi sesuai kategori saat ini dan besok. Besok maksudnya adalah tentang waktu yang bukan saat ini. Lebih jelas bisa lihat pada tabel kuadran berikut ini.



Kuadran I dan II adalah penderitaan, pola hidup yang tidak bisa menjaga kebahagiaan dan kedamaian. Biasanya ketika seseorang mengira kesenangan sebagai kebahagiaan, dia akan mengejar kesenangan. Dipikirnya kesenangan adalah solusi dari penderitaannya, hasilnya ketegangan semakin berkembang dan ketika kesenangan itu lewat, dia kembali terjerumus pada penderitaan. Jika sudah demikian, berkutat pada reaksi stres seperti kemarahan dan kebencian. Ketika memasuki keadaan seperti itu, dia masuk pada Kuadran I.

Situasi semakin menjadi absurd ketika stres menghasilkan stres.
(Jan De Vries, dalam Emotional Healing)

Banyak orang yang tidak belajar aspek pengelolaan diri terjerumus pada Kuadran I. Misalkan stres di tempat kerja entah disebabkan beban pekerjaan, atau hubungan antar manusia yang tidak baik. Ketegangan di bawa ke rumah setelah pulang kerja. Ketegangan itu mempengaruhi hubungan dengan istri atau suami bahkan juga anak. Anggap saja pada mulanya ketegangan di tempat kerja hanya skala 3, ketika pulang ke rumah timbol cekcok dan menjadi skala 4. Besok pagi kembali bekerja dengan membawa ketegangan dari rumah. Ketegangan ditempat kerja menjadi skala5, dan seterusnya, ketegangan semakin kuat. Hubungan relasi dengan tetangga yang tidak baik. Irihati dan kebencian dengan keberhasilan atau kesuksesan orang lain, semua itu semakin memperkuat ketegangan dan skala menjadi semakin bertambah. Kuadran I dicirikan dengan keadaan yang berlarut-larut seperti ini. Sayang sekali orang yang berada di Kuadran I hanya menganggap kesenangan sebagai satu-satunya solusi. Mulailah berkutat dari Kuadran I dan II, silih berganti, namun akhirnya tetap di Kuadran I dalam jangka waktu yang lama.

Seringkali penderitaan mempengaruhi temperamen dan menjadi kepribadian, tepatnya kepribadian yang menderita. Jika tidak mawas diri dan mulai menyadari belajar terapi diri dan pengelolaan diri, maka hidupnya tidak tertolong. Pada kenyataannya hanya diri sendiri yang bisa menolong, karena penderitaan itu hanya diri sendiri yang membuatnya.

Memasuki Kaudran III adalah diawali kesadaran diri bahwa tidak ada manfaat jika berlarut-larut di Kuadran I dan II. Filosofi kebahagiaan yang saya jelaskan di awal adalah momentum yang sesuai agar kita berrefleksi sejenak dan mulai memahami bahwa kebahagiaan dan kedamaian adalah kebutuhan. Memang itulah yang menjadi fokus tujuankita yang sesungguhnya.

Melangkah ke Kuadran III tentu melawan arus kebiasaan. Tentu seseorang akan beradaptasi dan merasa tidak nyaman pada awalnya. Pengendalian diri, latihan menyederhanakan diri, latihan mulai mengekspresikan kebaikan hati, belajar untuk tulus, itu mungkin  tidak mulus. Seseorang akan sedikit tergelincir pada kebiasaan lama, tapi dengan pengendalian diri yang baik, walaupun saat ini tidak nyaman, tapi besok akan lebih nyaman. Untuk itulah perlu melangkah pada Kuadran IV.

Pada Kuadran IV seseorang mulai menumbuhkan kebijaksanaan (wisdom). Pengendalian diri tanpa wisdom akanmemberi ketidaknyamanan oleh karena wisdom belum diberdayakan. Jika wisdom tumbuh maka kita akan kembali pada kesederhanaan (simplicity) dan kebaikan hati (kindness), dengan sendirinya kedamaian dan kebahagiaan akan dirasakan.



Umumnya praktisi meditasi yang mengolah kesadaran dan wisdom, melakukan transformasi dari Kuadran III ke Kuadran IV.  Orang dengan Kuadran IV adalah orang yang sangat produktif dalam arti konflik diri menjadi sangat rendah, sehingga justru bisa fokus pada tujuan hidup. Hal menarik dari Kuadran IV walaupun fokus tujuan namun dia bisa menikmati proses perjalanan yang dilaluinya. Kebahagiaan bisa diakses saat ini tanpa menunggu hari esok, karena itu praktisi meditasi lanjut memiliki kemampuan alami untuk melihat hidup “apa adanya”, kebahagiaan dan kedamaian bisa dilakukannya sepanjang proses perjalanan.

Berikut ini adalah tujuh kiat yang bisa dipraktikkan baik meditator maupun yang masih awam tentang meditasi. Paling tidak tendensi Kuadran I dan II direduksi, karena kualitas hidup kita tergantung pada seberapa banyak kita mereduksi dua buah kuadran tersebut.


TUJUH KIAT BAHAGIA DAN DAMAI  

1.  Don’t think your life seriously!
Jangan berpikir hidup anda dengan ‘serius’! Nasihat ini bukan berarti hidup dijalani asal-asalan, malas, tidak berusaha, tidak mau tahu, tapi tentang memperhatikan hidup dari aspek kealamiahannya.  Karena itu saya gunakan tanda kutip (‘serius’). Bedakan usaha dengan ngotot. Ngotot adalah keseriusan yang berlebihan. Seperti tumbuhan yang tidak perlu ingin tumbuh, karena sifat dari tumbuhan itu memang tumbuh (growing).

Kita boleh berusaha, melakukan upaya-upaya yang terbaik, namun ada saatnya kita memutuskan untuk membiarkan hukum alam bekerja. Seperti menanam tumbuhan. Kita bisa memberinya pupuk, menyirami setiap hari,namun kita tidak perlu melakukan penantian untuk menunggu buah. Buah akan muncul sesuai dengan sifat alaminya sendiri. Sebagai gantinya kita lebih banyak menikmati proses perjalanannya. Orang yang terlalu serius sering hanya ingin hasil dan tidak bisa menikmati proses. 

2.  Don’t think another side is better!
Jangan berpikir hal-hal luar kita selalu lebih baik! Ada pepatah rumput tetangga selalu lebih hijau. Sering perilaku seperti itu hanya menggarisbawahi dan mengasihani diri sendiri. Kitapun terjerumus untuk tidak menghargai proses perjalanan kita. Pencapaian orang lain didasari hukum menuai dan menabur yang mereka miliki. Ada konsekuansi dalam setiap tindakan, jadi kita tidak perlu irihati melihat apa yang dialami orang lain. Tidak ada kondisi selalu enak, enak dan tidak enak selalu silih berganti. Jika kita mempelajari hidup kita akan tahu bahwa hal-hal alami seperti juga dialami orang lain.  Jauh lebih penting kita menumbuhkan wisdom dari pada pencapaian aritifisial yang bukan letak dari kebahagiaan. Kebahagiaan terletak pada diri kita sendiri.

Dari antara sekalian makhluk di atas bumi ini, hanya manusia yang mampu
mengubah garis hidupnya; dialah satu-satunya mahkluk yang sekaligus dapat
berperan sebagai arsitek nasibnya sendiri.”
(William James)

3.  Keep focused on Your Goal!
Apa yang sesungguhnya yang Anda cari?  Fokus pada tujuan, tidak lain, adalah kebahagiaan dan kedamiaan.  Beberapa saat lalu saya membaca artikel tentang orang sukses yang hingga sekarang masih sibukbekerja. Dia mengindap penyakit deabetes, dan masih sibuk melayani klien baik di dalam maupun diluar negeri. Dia mengaku sehari hanya bisa tidur 5 jam dan satu-satuny cara mengatasi diabetes hanya dengan mengatur pola makan dan tidak sempat berolahraga. Jika kita cermati dengan baik, itukah yang sesungguhnya kita cari?

Orang yang berhasil memperoleh kekuasaan politik, namun yang
memperjuangkannya demi alasan-alasan neurotik, mungkin sangat sukses,
 namun justru merupakan tipe orang yang patut diwaspadai oleh masyarakat,
sebab kebutuhannya akan kekuasaan bersifat kompulsif dan
tidak pernah akan terpuaskan.
(Frank G.Goble, dalam Mazhab Ketiga)

Fokus pada tujuan adalah mengingatkan bahwa kita mesti balance. Kesehatan, kebahagiaan, pekerjaan, keluarga, semua perlu dibuat seimbang, karena memang itulah yang seharusnya menjadi pusat perhatian kita.  Keseimbangan dapat dilakukan dengan baik jika kita memperhatikan aspek kebahagiaan dan kedamaian. Jika kita bahagia, kita bisa mengatur diri dan membuat keputusan dengan cara-cara yang lebih bijaksana. Tidak selamanya uang akan membuat hidup kita lebih bermakna.

4.  Look inside!
Lihat kedalam! Nasihat ini dilakukanketika kita sedang mengalami ketegangan emosional.  Ketika ketegangan terjadi, lihat ke dalam. Menyadari dan menerima adanya emosi-emosi negatif adalah teknik yang efektif untuk meredakannya. Setelah emosi lebih stabil bolehlah lihat keluar lagi.

Emosi negatif jika diatasi sejak awal akan jauh lebih mudah. Dalam meditasi, kemampuan untuk menyadari adanya tendensi diri berupa emosi negatif dijadikan sebagai bagian dari teknik.

5.  Express Your Happiness!
Ekspresikan kebahagiaan dengan perbuatan baik. Kebaikan hati yang diungkapkan semakin menggarisbawahi  kebaikan hati itu sendiri. Sebaliknya jika niat buruk diungkapkan dan ekspresikan terus menerus, maka keburukan akan semakin kuat. Kebaikan kita butuhkan untuk menjaga diri agar hidup lebih nyaman, lebih puas karena telah banyak melakukan perbuatan baik. Seperti pepatah China: “Rahasia hidup sehat adalah dengan banyak berbuat baik.” Perbuatan baik memberikan kedamaian pada pelakunya.

6.  Don’t think what You Get from doing Good!
Jangan memikirkan apa yang kita dapatkan dalam melakukan sesuatu baik perbuatan baik atau juga aktivitas terbaik yang telah kita lakukan. Dalam pekerjaan profesional sering ada rencana-rencana dan prosedur-prosedur tertentu untuk mencapai hasil. Namun pada akhirnya kita mesti membiarkan hukum alam yang mewujudkannya. Memikirkan hasil sering hanya merusak kenikmatan kita dalam proses perjalanannya. Dalam berbuat baik juga jangan membatasi diri pada nama baik saja. Nama baik maupun celaan bukan alasan kita untuk menentukan suatu perbuatan. Justru kebaikan hati bisa mengatasi pujian dan celaan.

7.  Continue your Spiritual Evolution!
Lanjutkan evolusi spiritual Anda! Evolusi spiritual berhubungan dengan kualitas kebahagiaan. Hirarki kebahagiaan meningkat seiiringan dengan kesederhanaan, kebaikan hati, kedamaian, termasuk juga
keceriaan dalam hidup.

Dengan kata lain, kepribadian hanyalah merupakan
hasil akhir dari berbagai sistem kebiasaan kita.”
(John B. Watson, pakar Behaviorisme)

Dalam proses perpindahan Kuadran tentu fluktuatif, bukan proses yang linier dan mulus meningkat terus. Selalu proses perkembangan diri naik dan turun, namun dengan memperhatikan tujuh kiat ini secara periodik, pasti kita akan memiliki cara hidup yang jauh lebih baik, lebih damai dan bahagia.

Victor Alexander Liem