Thursday, October 9, 2014

Memaafkan Diri Sendiri (Sebuah Catatan Tentang Memberi Pengampunan)

Bagaimana  mungkin seseorang  yang tengah berada di atas kapal yang sebentar lagi berlayar untuk pulang, dengan seluruh pemandangan laut yang disukainya malah teringat cermin? Ya, saya teringat cermin. Barangkali saya sedang ingin berkaca sekarang. Apa yang akan saya perhatikan? Ooh.. wajah saya, sudah saya pastikan telah menghitam kemerahan, sudah gabungan dari terbakar matahari dan memang nampak begitulah setiap saya sedih ataupun marah, dalam bermacam kondisi yang menyiksa. Jadi, saya benar-benar tak ingin berkaca! Hanya teringat sebuah pertanyaan: ‘Saat kamu melihat dirimu dicermin apa yang kamu rasakan? Bahagia menjadi dirimu? Bahagia menjadi orang lain? Ataukah masih bertanya siapa saya?’

Semalam saya berkaca di cermin rias besar, beberapa hari belakangan apa yang saya obrolkan bersama teman-temanku, apa yang saya lakukan, semuanya sama, tentang hal yang sangat saya benci, bukan tujuan dalam hidup saya, atau katakanlah bukan cita-cita saya. Namun sama sekali bukan hal yang umumnya dipandang negatif. Saya terlihat seolah menikmati, padahal tidak. Mengapa saya harus berbicara dan bersikap begitu? Mengapa saya melakukan semuanya hanya untuk terlihat normal dan baik-baik saja? Harusnya saya sudah cukup kuat untuk tidak takut menjadi diri sendiri, tak perlu takut tidak diterima dalam lingkungan sosial dan pergaulan. Saya merasa tak mampu mengenal diri saya, pernahkah kamu? Entahlah saya amat bersyukur tidak membawa cermin kecil di ransel saya. Kalau sudah jujur pada diri sendiri manusiawi sekali kan menutupi kenyataan yang kita rasakan pada orang lain, tidak terkecuali orang-orang terdekat. Bagiku ini bukan persoalan takut menjadi diri sendiri tapi karena tidak semua bisa berjalan sesuai keinginan sehingga saya dan barangkali kamu juga pernah berkompromi dengan pilihan buruk (meski tak pantas disebut pilihan karena memang pilihannya hanya satu, tapi judulnya tetap saja memilih) seperti yang sekarang menimpa saya. Akhirnya saya hanya bisa memaafkan kepasrahan saya, dan saya baru saja tersadarkan bahwa memaafkan diri sendiri itu adalah cara sederhana mengurangi beban hidup tapi jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain, saya harap kamu juga mencoba J
 Gerimis turun tak menentu. Saya masih betah berdiri di koridor kapal memandangi gelombang air menyilaukan di bawah sana. Ahh.. masa kanak-kanak dulu banyak genangan air di samping rumah lamaku bila hujan turun cukup deras, dengan perahu kertasku mungkin sekarang ini bisa sedikit membuatku senang daripada berada di kapal dan laut sungguhan.

Sisit Sita Moidady,
Banggai Laut, 13 – Luwuk, 16 agustus 2014 (Perjalanan).


Wednesday, October 8, 2014

Mari Belajar Dari Ulat dan Kupu-Kupu: Sebuah Cermin Tentang Makna Berjuang


Survivors, ada pelajaran hidup yang indah yang bisa kita petik dari kisah ulat dan kupu-kupu ‪#‎Metamorfosaku‬

Kita semua pasti tahu bahwa sblm bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu cantik seekor ulat perlu melewati proses tertentu
Tapi esensi kehidupan sesungguhnya dimulai pada saat ulat tersebut berada dalam kepompong
Menunggu, bagi manusia, maupun ulat, sama menjengkelkannya. Apalagi jika dlm kepompong tanpa cahaya & tanpa bisa bergerak 
Dibalik menunggu, sesungguhnya ada kelebihan tertentu yang sedang dipersiapkan oleh Sang Pencipta Kehidupan
Namun terkadang, proses menunggu yang menjemukan dan sepertinya tdk ada harapan itu yg sering membuat kehilangan sabar

Ketika saatnya tiba untuk si ulat yg kini menjadi seekor kupu-kupu cantik keluar dr kepompongnya, kupu-kupu tsb kesulitan
Dengan sekuat tenaga, kupu-kupu tersebut berusaha merobek kepompongnya agar ia akhirnya bisa terbebas
Ada seorang anak yg begitu 'prihatin' dengan nasib kupu-kupu dlm kepompong. Dirobeknyalah kepompong itu hingga terbebas
Tanpa disadari, anak kecil itu sesungguhnya sedang mencelakai si kupu-kupu. Karena sayapnya yg lemah, ia tdk bisa terbang
Si kupu-kupu itu kehilangan kekuatan yang dibutuhkan sayap-sayapnya agar ia bisa terbang & kembali melanjutkan kehidupan
Sesungguhnya proses menyakitkan yg harus seekor kupu-kupu lewati untk bisa keluar dr kempompongnya adlh untuk membantunya
Ketika seekor kupu-kupu hrs menunggu dlm kepompong & kemudian berjuang keluar sesungguhnya adlh untk menguatkan sayapnya
Kedua sayapnya yg kuat adalah faktor penting yang menunjang kehidupannya ketika ia berhasil keluar dari kepompongnya
Hal yg sama juga berlaku bagi kita. Setiap permasalahan yang datang adalah sesungguhnya untuk menguatkan otot mental kita
Ketika mental kita sdh beradaptasi dengan dunia yg tdk mengenal kompromi, maka disitulah sesungguhnya letak kekuatan kita
Seorang pahlawan lahir dari tempaan banyak medan perang. Seorang pebisnis handal lahir dari rentetan kegagalan
Anda & saya saat ini sedang dipersiapkan untk menjadi pemenang dlm pertandingan kehidupan. Terus bertahan dan menangkan

@zahralizious
irenebernadette@ymail.com

Tuesday, August 26, 2014

Perlu Tahu: Remaja Rentan Bipolar

Apa jadinya jika orang tua yang lengah dalam mengenali perubahan perilaku anak remajanya? Sebagian besar mereka akan menganggap perubahan sikap dan perilaku sang anak sebagai hal yang lumrah dialami oleh kebanyakan remaja yang sedang labil atau galau. Padahal, depresi pada remaja sehingga memicu perubahan perilaku keseharian pada remaja berpotensi memicu terjadinya gangguan kejiwaan, salah satunya Bipolar disorder.
 
“Istilah labil berbeda dengan Bipolar,” ucap dokter ahli psikiatri Dr. Dwidjo Saputro SpKJ (K). Pengertian labil sebatas menunjukkan karakteristik bawaan seseorang , seperti orang dengan karakter moody atau memiliki karakteristik suasana hati yang berubah-ubah dalam waktu cepat.
 
Sedangkan Bipolar disorder (manic-depressive) atau disregulasi mood adalah jenis penyakit psikologi yang ditandai dengan perubahan mood secara ekstrim, akibat manik depresi. Bipolar bisa dialami oleh berbagai kalangan usia. Walaupun manivestasinya tampak berbeda antara bipolar yang dialami oleh usia dewasa dengan remaja.
 
Untuk membedakan normal tidaknya perubahan mood yang dialami seseorang dapat  dilihat dari seberapa sering frekuensi emosional yang dirasakan. Dibandingkan dengan orang normal, disregulasi mood terjadi ketika terjadi ledakan emosi dan perasaan disertai perubahan tingkah laku dalam frekuensi yang cukup sering.  Misal orang mudah marah dan memberi respon berlebihan hanya karena alasan atau pencetus masalah yang sederhana,mengalami depresi berulang dengan frekuensi berganti dalam hitungan jam, minggu maupun bulan.
 
“Banyak orang yang sebenarnya mengalami periode singkat emosi yang intens, namun kebanyakan mereka tidak menyadari jika mereka mengidap Bipolar Disorder,” ujarnya dalam kesempatan menghadiri acara Konferensi Nasional ke II Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia (AKESWARI), di Hotel Sheraton Surabaya pada 8 -10 november 2012 lalu.
 
Pada remaja, gangguan bipolar umumnya dialami pada usia 15 hingga 24 tahun dengan prevalensi yang sama antara remaja pria dan wanita. 30 persen remaja yang depresi berujung menjadi bipolar. Dan jika remaja sering megalami ledakan emosional berlebihan dan berulang maka akan terbentuk menjadi pola perilaku.
 
“Oleh sebab itu, perlu diwaspadai apabila terjadi depresi pada usia masa remaja, karena berpotensi kuat mengarah ke bipolar,”
Penyebab terjadinya gangguan bipolar bersifat multifaktor yang mencakup faktor genetik, biologi otak, serta peristiwa-peristiwa kehidupan dan keadaan lingkungan yang menimbulkan stres atau disebutstressor psikososial. Faktor genetik menyebabkan seseorang rentan dan bila yang bersangkutan mengalami stres psikososial yang tidak bisa ditanggulangi, maka terjadilah gangguan bipolar.
 
Bila sudah ada tanda-tanda gangguan bipolar, maka penting kejelian dan perhatian dari pihak keluarga untuk segera diperiksakan pada ahli psikiatri yang tepat. Untuk menyeimbangkan kembali zat-zat kimia alami otak, diperlukan obat jenis mood stabilizer yang akan membantu otak agar semua sistemnya bekerja harmonis kembali dan secara bertahap tercapai keseimbangan di antara zat-zat kimia alami otak.
 
“ Tidak sedikit dari pihak keluarga yag mengkhawatirkan soal efek samping dari pemberian obat jenis mood stabilizer, padahal dalam penanganan bipolar secara eviden base, pemberian obat tersebut cukup membantu dan hasil terapinya jauh lebih baik, dibandingkan dengan pasien bipolar yang tidak didampingi dengan pemberian obat,”
 
Jika penderita bipolar dapat ditangani sedini mungkin, maka bisa menekan timbulnya gangguan perilaku dan emosi pada usia lebih dini, dan menekan potensi terjadinya kerusakan emosi dan pikiran yang lebih kompleks di kemudian hari. “ Semakin dini penanganan,  maka semakin menekan resiko psikopatologi dikemudian hari, sehingga diharapkan kehidupannya akan jauh lebih sehat dan produkti,” ujarnya.
 
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Hendro Riyanto, dr., SpKJ, MM mengatakan Anak dan remaja adalah masa pembentukan kepribadian, dan karena kepribadian terbentuk saat anak dan sampai 18 tahun , lebih dari itu sudah susah untuk berubah.
 
Anak dan remaja identik dengan karakterisitik perilaku yang agresif, sangat tidak sabaran, dan labil. Mereka cenderung rentan melakukan hal-hal sembrono dalam kesehariannya, dan menunjukkan citra diri yang baik dihadapan lingkungan sosialnya.
 
Oleh sebab itu, selama dalam masa pembentukan kepribadian, penting sebagai orang tua untuk menjaga komunikasi yang baik dengan sang anak. Di luaran sana, banyak anak merasa haus kasih sayang dari orang tuanya, bisa karena kesibukan orang tua yang padat sehingga edikit meluangkan aktu untuk anak-anaknya. Sedangkan sianak, jika salah pergaulan maka dari komunitas bermainnya dan lingkungan sosialnya membawa pengaruh yang sangat kuat.
 
Apabila mulai menunjukkan perubahan perilaku yang tidak wajar dan depresi, ada baiknya anak remaja dipaksa ke dokter, dengan cara bisa dirayu melalui gurunya,  atau melalui komunitas atau teman sebayannya. Karena dalam proses terapi, selain dibutuhkan peran dokter yang menangani, juga dibutuhkan kemauan dari si pasien.

“Sebagian besar remaja bipolar tidak segera dibawa ke psikiatri, setelah si anak menunjukkan adanya penyimpangan perilaku dan dianggap mulai membahayakan baru di bawa ke dokter, seperti sudah mulai meunjukan ketidak peduliannya pada tugas utama seperti belajar sehingga prestasinya menurun, atau bahkan sering ber masalah di lingkungan sosialnya ,” ujarnya.

http://www.fk.unair.ac.id/news/headline-news/kongres-nasional-akeswari-2012-remaja-rawan-bipolar.html

Bipolar Disorder: Banyak Diderita Para CEO Sukses

Tahukah Anda penyakit apa yang banyak diderita oleh para CEO sukses kaliber dunia? Menurut Cameron Herold dalam TED Talks bidang pendidikan entrepreneurship, penyakit itu adalah Bipolar Disorder (Gangguan Bipolar)
“Ted Turner (pendiri CNN) menderita ini (bipolar disorder), Bill Gates (Microsoft), Steve Jobs (Apple). Ketiga pendiri Netscape juga. Dan masih banyak lagi,”kata Herold yang juga seorang entrepreneur. Ia mendirikan BackPocket COO.



“Karena mania (salah satu gejala Bipolar Disorder) membantu para eksekutif ini untuk tetap memiliki passion terhadap idenya, hampir seperti orang yang amat fanatik,”tegas Herold yang mengaku juga sedikit bipolar. Mania, semangat berlebihan ini, adalah apa yang membuat pegawai bergairah untuk meneladaninya. “Mereka ingin passion dan api semangat itu,”tulis Herold dalam tulisannya di CBS. 
Pernyataan Herold ini dikonfirmasi oleh Austen Allred, yang dalam tulisannya “Bipolar Disorder – The CEO Disease” mengatakan bipolar disorder membantu penderitanya menjalankan perusahaan yang sukses karena di momen-momen kejayaan mereka mampu bermimpi, dan di momen terburuk mereka akan menghadapi bagian paling suram dari perusahaan dan tidak bisa menghindarinya. 

Kekerasan di Masa Kecil Salah Satu Faktor Risiko Bipolar Anak Saat Dewasa

Kekerasan yang didapatkan anak memang berpengaruh pada kondisi kejiwaannya. Tak hanya trauma atau jadi anak yang minder, kekerasan di masa kecil juga menjadi faktor risiko gangguan bipolar.

Seperti penuturan DR dr Nurmiati Amir, SpKJ, seseorang yang mendapat kekerasan fisik, mental, atau seksual, neurokimia pada otaknya bisa berubah sehingga kondisi neurokimia yang dimiliki tidak sama dengan orang yang kondisinya lebih nyaman.

"Orang seperti ini terbiasa belajar tidak berdaya. Sehingga suatu hari secara kejiwaan dirinya merasa tidak berharga atau tidak berguna. Setelah dewasa banyak bertemu berbagai masalah muncul dinamika periode manik dan depresi," terang dr Nurmiati.

"Manik sebenarnya bisa jadi bentuk pertahanan dari penderitaan yang ia rasakan yang dikompensasi menjadi perasaan bahagian luar biasa," lanjut dr Nurmiati ditemui di kantor IDI, Jl. Samratulangi, Menteng, Jakarta, seperti ditulis pada Kamis (14/8/2014).

Meski begitu, dr Nurmiati menekankan tidak serta merta orang tua bipolar lantas memiliki anak bipolar. Bisa saja orang tua tidak bipolar tetapi saat ibu hamil di trimester pertama dan kedua mengalami kekurangan oksigen. Kondisi ini bisa menyebabkan keracunan kehamilan akibat nutrisi yang buruk sehingga ada kerusakan pada otak.

"Genetik juga memengaruhi. Orang tua ada riwayat mengalami gangguan mood, anak bisa saja mengalaminya juga, tapi tidak pasti. Penyebab pasti bipolar sampai saat ini belum ada. Makin tinggi faktor risiko, makin besar kemungkinan seseorang mengalami bipolar," lanjut dr Nurmiati.

Ia mengatakan, pada pria bipolar, episode pertama dimulai dengan episode manik sehingga diagnosis bisa lebih cepat ditegakkan. Beda dengan wanita yang mengalami episode depresi pertama kali.

Dikatakan dr Nurmiati, kemungkinan besar hal ini terjadi karena faktor hormonal sehingga pada wanita lebih banyak yang 'jatuh' ke masa depresi sehingga sering didagnosis mengalami depresi mayor.

"Kalau dia dikasih obat untuk depresi unipolar padahal dia bipiolar, bisa terjadi manik atau dengan kata lain obat depresi unipolar itu menginduksi timbulnya manik dan saat manik timbul, baru diagnosis bipolar ditegakkan," jelas dr Nurmiati.


Radian Nyi Sukmasari - detikHealth
(rdn/up)

Contoh Kasus Bipolar Disorder pada Anak dan Remaja

Gambaran Kasus
Sheyna, 13 tahun, memiliki orangtua yang overprotective dan sangat menuntut supaya Sheyna mengikuti apa saja perintah yang diberikan kepadanya.
Sheyna merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, dan hanya ia yang perempuan. Sheyna menganggap dirinya sangat bergantung pada orangtua, ditambah lagi orangtua memperlakukan Sheyna seperti anak kecil yang berusia di bawah usia dirinya.
Kedua kakak Sheyna sangat pembangkang bahkan kakak pertama Sheyna (18 tahun) pernah blak-blakan mengaku kepada orangtua mereka bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual dengan teman di sekolah. Tentu saja, orangtua menjadi sangat marah, apalagi orangtua sangat strict terhadap isu-isu seksual. Bahkan, orangtua selalu membahas kepada Sheyna dan kedua kakak bahwa virginity itu harus dijaga hingga kelak menikah. Kondisi kakaknya ini berbanding terbalik dengan Sheyna yang sangat pasif dan penurut, serta menjadi satu-satunya anak yang dianggap “baik” oleh orangtuanya sehingga Sheyna dijuluki “Little Miss Perfect”.
Ada riwayat sakit mental di dalam keluarga Sheyna. Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah sama-sama menderita depresi.
Sheyna mengalami insomnia sejak ia berusia 10 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya mengganggu kegiatan belajar di sekolah. Nilai Sheyna sampai mengalami penurunan yang cukup parah, sehingga orangtua memutuskan supaya Sheyna menjalani home-schooling saja supaya Sheyna dapat mengatur waktu kapan untuk belajar. Perilaku insomnia ini dialami Sheyna pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, di mana kakak pertama Sheyna ternyata sampai menghamili temannya di sekolah. Pada saat itu, kondisi rumah sangat “panas”, Ayah dan Ibu selalu bertengkar setiap ada kesempatan di pagi-siang-sore-malam. Keadaan semakin memanas karena kakak pertama Sheyna sempat kabur dari rumah bersama teman yang ia hamili, sehingga memicu pertengkaran antara keluarga Sheyna dengan keluarga yang anaknya dihamili oleh kakak Sheyna tersebut. Kondisi tersebut berlangsung hingga kurang-lebih dua bulan dan sejak itu, Sheyna sulit sekali memejamkan mata seberapa pun dirinya mengantuk karena bayangan pertengkaran dan suasana memanas itu selalu menghantui Sheyna. Untuk pertama kalinya, di masa sebulan itu, Sheyna mengalami ledakan emosi yang tinggi.
Sejak saat itu, Sheyna juga semakin sering menyendiri di dalam kamar untuk menghindari pertengkaran. Bagi Sheyna, dia menjadi lebih rileks dengan berada di dalam kamar. Dia juga semakin bisa berpikir, mencari tahu, dan menganalisa segala hal yang ia senangi. Sheyna tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik, misalnya ia percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari seorang politikus Romawi di masa lalu.
Keluarga dan teman-teman Sheyna melihat Sheyna sebagai orang yang sangat rapi dan teroganisir. Sheyna senang menuliskan apapun ide-ide yang ia miliki dan menuliskan di buku diary, komputer, bahkan dinding kamarnya penuh dengan papernote yang ditempelkan secara berantakan dan berisi ide-idenya tersebut. Kebanyakan ide yang Sheyna tuliskan berisi tentang hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan di dalam keluarganya, seperti tentang dorongan seksual dan tingkat spiritualitas. Aktivitas ini semakin menjadi-jadi saat ia merasakan gairah luar biasa untuk melakukan sesuatu.
Selama proses pertengkaran di dalam keluarganya, Sheyna sempat mengalami depresi dan depresi yang ia miliki semakin menjadi-jadi karena hingga saat ini Sheyna masih menderita insomnia. Sheyna juga menderita kesulitan untuk makan dan konsentrasi. Di puncak depresinya, Sheyna akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, Ibu selalu menemukan Sheyna tepat waktu sehingga Sheyna masih bisa diselamatkan.

Bipolar Disorder Pada Anak dan Remaja
Istilah Bipolar Disorder (BD) dimunculkan karena pada kasus-kasus ganggguan jenis ini, anak tidak hanya akan mengalami periode episode mania (manic episodes) serta juga akan mengalami depresi (depression episodes) seumur hidup mereka. Manic dan depression sendiri merupakan dua hal yang saling berlawanan dan berbeda kutub.
Ada empat jenis mood episodes di dalam BD yaitu mania, hypomania, depresi, dan episode campuran. Ketika sedang berada dalam episode mania, maka anak akan  mengalami peningkatan aktivitas fisik maupun mental. Misalnya, menjadi sangat bersemangat ketika melakukan banyak  kegiatan, serta memiliki banyak ide-ide baru yang ingin diwujudkan. Sebaliknya, ketika ia sedang berada dalam episode depresi, maka ia akan mengalami penurunan aktivitas. Misalnya, anak menjadi tidak tertarik melakukan kegiatan sehari-hari, mengurung diri dalam suatu ruangan dan tertutup. Episode mania biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara dua minggu hingga lima bulan, sedangkan episode depresi cenderung berlangsung lebih lama.
BD2 

Kemunculan BD pada seseorang berbeda-beda. Kemunculan BD Type I 2,4%, BD Type II berkisar antara 0,3%-4,8%, Cyclithomania antara 0,5%-6,3%, dan Hypomania antara 2,6%-7,8%.
Gangguan bipolar merefleksikan adanya gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan Behavioral Activation System atau BAS. BAS memfasilitasi kemampuan manusia untuk memperoleh reward dari lingkungannya dan ini dikaitkan dengan positive emotional states yang dimiliki seseorang, karakteristik kepribadian seperti extrovert, peningkatan energi, dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur.
Secara biologis, BAS diyakini terkait dengan jalur syaraf dalam otak yang melibatkan dopamine neurotransmitter dan juga terkait dengan perilaku untuk memperoleh reward tertentu. Peristiwa kehidupan yang melibatkan pencapaian tujuan atau reward diprediksi meningkatkan simptom mania. Sedangkan peristiwa positif lainnya tidak terkait dengan perubahan pada simptom mania, dan pencapaian tujuan tidak terkait dengan perubahan dalam simptom depresi. Dengan demikian, BAS dan manifestasi perilakunya, yaituperilaku untuk mencapai tujuan diasosiasikan dengan simptom mania dari gangguan bipolar.
Anak-anak dan remaja menunjukkan kemiripan dengan orang dewasa dalam hal mood yang depresif, tidak mampu untuk merasakan kesenangan, kelelahan, sulit konsentrasi, dan ide bunuh diri. Perbedaannya terletak pada tingkat usaha untuk bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak dan remaja, sering bangun lebih awal di pagi hari, kehilangan selera makan dan kehilangan berat badan, serta depresi di pagi hari pada orang dewasa.
Terkadang depresi disebut sebagai masked depression, yaitu menampilkan perilaku agresif dan menyimpang, yang biasanya pada orang dewasa tidak dilihat sebagai refleksi dari depresi.
Masalah utama dalam melakukan diagnosis depresi pada anak-anak terletak pada komorbiditas dengan gangguan lain, misalnya kecemasan. Lebih dari 70% dari anak-anak yang depresi juga memiliki gangguan kecemasan atau simptom kecemasan yang signifikan. Anak-anak yang berusia lebih muda cenderung mengalami pengalaman depresi yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan.
Secara umum, depresi muncul kurang dari 1% pada anak-anak prasekolah dan 2–3% pada anak usia sekolah. Pada remaja, rata-rata penderita depresi sama dengan orang dewasa, dengan rata-rata 7-13% dan lebih banyak muncul pada anak perempuan.
Masalah genetis adalah faktor umum yang menjadi penyebab BD. Anak yang memiliki salah satu orangtua dengan BD memiliki resiko mengidap penyakit yang sama sebesar 15-30%. Apabila kedua orangtuanya mengidap BD, maka anak-anaknya beresiko mengalami BD sebesar 50-75%. Kembar identik dari seorang pengidap BD juga memiliki resiko tertinggi akan juga mengalami BD dibandingkan anak yang bukan kembar identik.
Orangtua dengan anak yang mengalami depresi biasanya juga memiliki saudara dekat  (first-degree relatives) yang mengalami mood disorder. Ibu yang mengalami depresi juga besar kemungkinan akan memiliki anak yang juga mengalami depresi.
Secara fisiologis, salah satu faktor utama penyebab seseorang mengidap BD adalah karena terganggunya keseimbangan cairan kimia utama di dalam otak seperti hormon norepinephrindopamine, dan serotonine. Sebagai contoh, ketika seseorang yang mengalami BD dan kadar dopamine dalam otaknya sedang tinggi, maka saat itu ia akan merasa sangat bersemangat, antusias, dan agresif.
Ada pula Central Nervous System (CNS) yang mempengaruhi mood seseorang. Pentingnya pengaruh CNS pada mood seseorang sudah diketahui sejak lama, diawali dengan adanya penelitian terhadap orang dewasa yang diberi obat reserpine untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Hasilnya, 20% dari orang tersebut menjadi mengalami depresi parah. Sejak saat itu, diketahui bahwa reserpine memang menurunkan pergerakan dari monoamine neurotransmitters (norepinephrindopamine, dan serotonine) dalam CNS. Penemuan ini mengarahkan pada munculnya monoamine hypothesis, yaitu penurunan monoamine neurotransmitters menyebabkan depresi. Hipotesis ini rpada perkembangan pengobatan trycyclic antidepressant, seperti imipramine, yang menyebabkan peningkatan monoamine neurotransmitters dan mengurangi perasaan depresi.
Penelitian selanjutnya menemukan bahwa monoamine hypothesis terlalu sederhana karena ditemukan juga neurotransmitters lainnya yang banyak berpean dalam depresi. Ada pula peranan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) yang merespon stress.
Sementara itu, secara psikologis, seseorang yang mengalami banyak tekanan dari dalam maupun luar dirinya akan dapat mengalami disstres berkepanjangan. Apabila tidak ditambah dengan strategi pemecahan masalah (coping) yang memadai, maka ia pun dapat menderita BD.
Pola asuh orangtua yang neglectful dan abusive juga mempengaruhi perkembangan anak, di mana anak berkemungkinan untuk mengalami depresi yang disebabkan oleh stress. Bayi atau anak yang masih kecil yang belum mampu melakukan regulasi emosi atau mood negatif akan mengalami mood negatif lebih sering dan memakan waktu lebih lama, di mana hal ini meningkatkan kemungkinan mereka untuk mengembangkan perilaku BD pada masa anak-anak dan remaja. Regulasi emosi ini mengacu pada proses pengaturan pengendalian, dan modifikasi dari emotional arousal untuk menghasilkan perilaku yang adaptif. Tujuan utama dari regulasi emosi pada bayi adalah supaya mereka mempelajari cara untuk meregulasi dorongan emosi yang disebabkan stress fisiologis, seperti kebutuhan untuk mendapatkan makanan. Meskipun bayi memiliki kemampuan untuk menenangkan diri sendiri di masa-masa stressful, namun pengaturan terhadap dorongan tersebut harus dibantu oleh orang lain seperti dengan digendong, diberi makan, dan diberi kehangatan emosional.

Analisa Kasus Sheyna
Sheyna menunjukkan simptom perilaku yang mengarah ke Bipolar I Disorder. Sheyna meyakini bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari politisi Romawi di masa lalu, yang menunjukkan simptop psikotis ada pada dirinya. Simptom psikotis sendiri hanya muncul pada Bipolar I Disorder. Sheyna juga menunjukkan perilaku mania dengan cara menuliskan semua ide-ide yang ia miliki di buku diary, komputer, bahkan papernote yang ditempel berantakan di dinding kamarnya. Ide-ide tersebut termasuk pula ide-ide yang sebenarnya selalu tabu untuk dibicarakan di dalam keluarga (tentang seksualitas dan spiritualitas). Perilaku ini jelas berbeda dengan kebiasaan Sheyna yang selalu rapi dan terorganisir. Kemunculan perilaku mania ini dibarengi pula dengan kemunculan perilaku depresi yang membuat Sheyna sampai beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Pada kasus Sheyna, ditemukan bahwa ada riwayat genetis di dalam keluarga dekatnya yang memiliki gangguan depresi, yaitu Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah. Perlu ada pemeriksaan mendalam tentang apakah kasus Sheyna terkait dengan riwayat genetis di dalam keluarganya. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada.
BD yang diderita Sheyna merupakan masalah yang perlu penanganan hingga seumur hidup karena tidak dapat dengan mudah ditentukan bahwa gejala mania dan depresi yang diderita Sheyna tidak akan lagi muncul di masa depan. Cara terbaik untuk memberikan treatment kepada Sheyna adalah dengan memberikan  pengobatan medis yang tepat serta menjalani psikoterapi. Misalnya, mengkombinasikan pemberian obat antipsychotic(seperti: Seroquel) dan mood-stabilizer (seperti: Lithium), ditambah psikoterapi (seperti: terapi regulasi emosi, anger management untuk membantu Sheyna dalam mengatasi mania dan depresi yang muncul di dirinya).
http://kolompsikologi.wordpress.com/2013/10/19/bipolar-anak/

Bipolar Disorder pada Anak, Gejalanya Khas Anak-anak

Tak mudah memperhatikan gejala awal Bipolar Disorder pada anak. Seringkali dikira mirip dengan gangguan atensi.

Bipolar Disorder, bisa muncul gejalanya pada masa kanak-kanak dan baru tereteksi ketika anak memasuki usia remaja. Uniknya, pada anak gangguan ini muncul bersamaan atau mirip-mirip dengan gangguan hiperaktif defisit atensi (Attention Deficit Hyperactive Disorder). Banyak orangtua yang kurang ngeh dengan kehadiran gejala awal gangguan Bipolar pada anak-anaknya.


Perubahan Mood Lebih Cepat
“Pada anak, sepintas  gangguan bipolar memang mirip dengan ADHD,” ujar Dr.Tjhin Wiguna, Sp.KJ(K),  psikater anak dari RSCM/FKUI. Untuk gejala-gejalanya, sambung Tjhin,  bipolar pada anak hampir sama pada orang dewasa. Namun sesuai dengan usianya, perilaku yang ditampilkan biasanya juga ’khas anak-anak’. Misalnya senang main sampai lupa waktu, sulit konsentrasi, hiperaktif, banyak omong,  mudah tersinggung,  senang berlebihan, kurang tidur, dan lainnya.

Selintas perilaku itu  mirip gangguan ADHD. Lantas, bagaimana membedakan keduanya? ”Pada anak ADHD, umumnya mood-nya lebih stabil. Sementara perubahan mood pada anak bipolar sangat cepat,” imbuh Tjhin.

Ya, perubahan mood memang ciri khas Bipolar. Bila pada orang dewasa perubahan emosinya  (mood swings)  berlangsung dalam hitungan pekan, pada anak bipolar fluktuasi emosinya bisa dalam bilangan jam (rapid-cycle). Contohnya, belum lama anak terlihat kesal dan marah-marah, namun beberapa jam kemudian dia bisa masuk ke episode polar manik atau kutub senang yang berlebihan.

Obat dan Kasih Sayang
Sampai saat ini penyebab gangguan bipolar disinyalir berasal dari beberapa faktor pemicunya, yakni terkait dengan genetik, psikososial dan terganggunya beberapa cairan kimiawi (neurochemistry) di dalam otak.

Di Indonesia sendiri jumlah anak yang mengalaminya pun belum banyak yang terungkap.  Namun untuk kasus-kasus pada anak di kelompok usia remaja, kasusnya terlaporkan dari beberapa kota besar. Sebab penelitian yang membahas gangguan bipolar pada anak masih minim, tak sedikit orangtua yang bertanya apakah anak yang menderita bipolar, saat dewasa kelak sudah pasti mengalami hal yang sama. Bagaimanapun anak masih dalam periode tumbuh dan berkembang. 

Repotnya lagi,  anak bipolar kadang didiagnosa mengalami gangguan ADHD. Bahkan pada orang dewasa pun, ditemukan pula kasus si pasien baru diketahui menderita  bipolar setelah 9 tahun lewat, karena sebelumnya terdiagnosa sebagai skizofrenia (baca testimoni). Karena itulah perlu  wawancara psikiatri yang cermat untuk mendiagnosa secara tepat gangguan kejiwaan ini pada anak.

Namun itu semua bukan berarti orangtua tak peduli dengan gangguan yang satu ini. BIla  curiga dengan hiperakrtivitas anak yang disertai emosi yang berubah cepat, tak ada salahnya segera membawanya ke psikiater. Kalau diketahui dini, tentu anak akan mendapat terapi yang sesuai.  ”Bipolar itu kan terkait neurotransmitter di otak anak. Bila neurotransmitter ini tak seimbang dan tak diobati,  akan berpengaruh pada otaknya,”  ujar Tjhin.

Selain obat, hal lain yang dibutuhkan anak bipolar adalah kasih sayang yang tulus. Konkretnya, orangtua mesti menerima sang anak apa adanya. Bila diperlakukan dengan penuh empati,  anak bipolar pun bisa  meraih sukses sesuai cita-citanya.    

Di sinilah pentingnya edukasi buat orangtua yang punya anak dengan gangguan bipolar. Pemahaman yang benar akan membuat orangtua lebih siap menghadapi perilaku sang buah hati. Tak kalah penting adalah siap bekerja sama dengan psikiater anak  yang menanganinya. *


Testimoni:
Hartono: “Tidak Bisa Tidur dan Kuat Jalan Berkilo-kilometer”

”Umur saya sudah melewati kepala 4. Saya terkena bipolar pada usia 13 tahun. Sayangnya, saat itu diagnosanya gangguan skizofrenia. Baru pada usia 16 tahun,   saya didiagnosa bipolar. Saat gangguan bipolar itu muncul, saya merasakan dorongan  kuat untuk melakukan banyak hal. Tak salah bila orang lain menganggap saya hiperaktif. Saya menyadari adanya dorongan tersebut, tapi jujur saya tak bisa mengendalikannya.

Saat dorongan itu muncul, saya biasanya menjadi tidak bisa tidur. Sehari cuma tidur satu jam terasa sudah cukup. Saya tidak mengerti kenapa seperti itu. Ada juga keinginan untuk jalan sejauh mungkin. Pernah saya jalan dari Gunung Sahari sampai Universitas Trisakti di Grogol, lalu balik lagi ke Gunung Sahari. Nggak ada rasa capek meski tak minum dan makan.

Beruntung saya punya orangtua yang begitu peduli. Mereka tak mengenal lelah untuk selalu membawa saya ke rumah sakit saat gangguan tersebut muncul.

Namun sampai sekarang, saya kecewa dengan lingkungan yang masih mengecap saya sebagai orang gila. Ini sangat menyakitkan. Padahal dengan berobat rutin ke dokter, saya bisa hidup layaknya orang lain. Itulah saya mengimbau kepada masyarakat luas untuk lebih peduli kepada orang-orang seperti saya.”

http://tumbuh-kembang.com/artikel/Bipolar-Disorder-pada-Anak,-Gejalanya-Khas-Anak

Trauma Masa Kecil Tingkatkan Risiko Jantung

Orang dewasa yang terpapar pengalaman buruk pada masa kecilnya, memiliki pembuluh darah yang lebih buruk daripada orang yang tidak memiliki trauma masa lalu. Hasil riset yang dikutip dari situs Reuters edisi 22 Mei 2014, mengungkapkan stres di usia muda meningkatkan risiko penyakit jantung di kemudian hari. 

"Kami menemukan bahwa gangguan tersebut juga terjadi pada manusia," kata Jennifer Pollock, salah seorang anggota tim penelitian dari University of Alabama di Birmingham. Tim peneliti semula menemukan gangguan itu ketika meneliti hewan. 

Pollock dan rekan-rekannya meneliti kenaikan tekanan darah dan indikator lain guna mengetahui seberapa besar penyempitan pembuluh darah atau seberapa rileks atau tegangnya dinding pembuluh darah.

"Semua itu ada kaitannya dengan orang yang mengalami stres semasa kecil dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman buruk di masa kanak-kanak," cetus Pollock. Ia menambahkan, perceraian dalam rumah tangga adalah salah satu pengalaman buruk yang sering berkontribusi pada trauma masa lalu, diikuti dengan pengabaian dan kekerasan.

Untuk riset yang dipublikasikan di jurnal Hypertension ini, Pollock dan rekan-rekannya meneliti 221 orang remaja dan orang dewasa muda yang direkrut dengan tujuan awal penelitian faktor risiko terhadap sistem kardiovaskuler yang dimulai pada 1989.

Para ilmuwan menemukan partisipan yang mengalami satu kali traumatis pada masa kanak-kanak mempunyai level plasma endothelin -1 (zat kimia pembuat kontraksi) 18 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman traumatis. Sedangkan mereka yang mengalami lebih dari dua kali pengalaman buruk di masa kanak-kanak, mempunyai level plasma endothelin -1 yang jumlahnya 24 persen lebih tinggi.

"Stres dapat memicu respons biologis yang dapat meningkatkan adaptasi terhadap perubahan," kata Dr Andrea Danese dari Institute of Psychiatry, King's College, London.

Danese mengatakan dari hasil temuan ini, bukan berarti anak-anak perlu diberi obat atas reaksi biologis yang terjadi ketika stres. "Sebaliknya, informasi ini dapat digunakan untuk melihat apakah intervensi psikososial seperti psikoterapi, bisa membantu mengatasi efek kerusakan mental yang terjadi pada masa anak-anak," katanya.

REUTERS | ARBA IYAH SATRIANI

http://www.tempo.co/read/news/2014/05/31/060581360/Trauma-Masa-Kecil-Tingkatkan-Risiko-Jantung

Perlu Tahu: Bullying Dapat Mengakibatkan Gangguan Kesehatan Jangka Panjang

Anak-anak yang dibully, dapat mengalami trauma kronis dan sistematis hingga dewasa, sedangkan bully sendiri, dapat meningkatkan status sosial seseorang dalam pergaulan. Penelitian ini dilakukan oleh Duke medicine.

Penelitian ini, yang dilakukan bersama Universitas Warwick, Universitas North Carolina di Chapel Hill, dan Universitas Emory, dipublikasikan secara online di Proceedings of the National Academy of Sciences pada bulan 12 Mei 2014.

“Penemuan kami tertuju pada konsekuensi gangguan kesehatan yang timbul karena bullying, dan dengan melakukan penelitian tentang penanda peradangan, menghasilkan potensi mekanisme tentang bagaimana interaksi sosial dapat berakibat pada gangguan kesehatan tubuh,” kata William E. Copeland, Ph.D., dari asosiasi professor psikiatris dan ilmu tingkah laku di Universitas Sekolah Farmasi Duke.

Penelitian sebelumnya telah mensugesti bahwa korban bullying pada anak-anak menderita konsekuensi emosional dan sosial menuju kedewasaan, termasuk kenaikkan depresi dan kegelisahan. Belum lagi anak yang dibullying juga mengeluhkan gangguan kesehatan, seperti kerentanan dalam mudah terserang penyakit yang dapat memperpanjang diluar hasil psikologi.
“Diantara korban bullying, sepertinya dapat berimbas pada kesehatan di saat dewasa,” kata Copeland. “Di penelitian ini, kami bertanya-tanya. Apakah bullying disaat masa kana-kanak dapat mempengaruhi kesehatan psikis.”

Copeland dan rekan-rekannya menggunakan data dari Great Smoky Mountains Study, populasi berdasar penelitian yang sudah mengumpulkan informasi sejauh 1420 individu untuk lebih dari 20 tahun. Individu dipilih secara acak untuk berpartisipasi dalam studi secara prospektif, dan untuk itu kita tidak berada di dalam resiko yang tinggi mengenai penyakit mental atau di bully.

Para peserta diwawancarai mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan pemudanya tentang pengalaman dengan bullying. Para peneliti juga mengoleksi contoh darah para peserta untuk melihat apakah ada factor biologis dibalik semua itu. Dari darah itu, para peneliti meneliti tentang C-reactive protein (CRP), penanda tingkat-rendah peradangan dan factor resiko tentang gangguan kesehatan termasuk kelainan pada pencernaan dan kerja jantung.

“Level CRP yang diakibatkan oleh berbagai macam stress, termasuk kurang gizi, kurang tidur, dan infeksi, tapi kita menemukan kesinambungan dengan factor psikososial,” kata Copeland. “Dengan mengontrol  peserta level CRP, bahkan sebelum melibatkan bullying, kita mendapat pengertian yang jelas bagaimana bullying dapat mengubah lintasan tentang level CRP.”
Tiga grup peserta yang sudah di analisis: korban bullying, adalah mereka yang pernah membully dan pernah menjadi korban, dan mereka yang murni membully. Meskipun begitu, level CRP meningkat di semua grup ketika mereka menuju masa dewasa, korban bullying di masa kanak-kanak memiliki level CRP yang lebih tinggi sama seperti orang dewasa, daripada yang ada di lain grup.


Pemuda yang pernah menjadi korban bullying dan pembully saat anak-anak, mempunyai level CRP yang yang mirip dengan mereka yang tidak pernah terlibat bullying, sedangkan pembully mempunyai level CRP terendah, bahkan lebih rendah daripada mereka yang tidak pernah terlibat dalam bullying. Meskipun menjadi pembully dan  meningkatkan status sosial lewat interaksi ini dapat memproteksi naiknya penanda infeksi.

Sedangkan bullying itu lebih dirasakan lebih ringan daripada kekerasan anak-anak atau kesalahan perawatan. Pencarian bahwa kalau bullying dapat mengganggu tingkat infeksi pada masa dewasa. Mirip pada yang terlihat pada bentuk lain ketika trauma pada masa kecil.

“Penelitian kami menemukan bahwa peran anak-anak dalam bullying dapat menghasilkan resiko atau faktor protrektif untuk peradangan tingkat rendah,” kata Copeland. “Menaikkann status sosial sepertinya memberikan keuntungan biologis. Meskipun begitu, ada cara bagaimana anak-anak memperoleh popularitas tanpa melakukan bullying.”

Penelitian tersebut menyimpulkan mengurangi bullying sama dengan mengurangi infeksi pada korban bullying. Hal tersebut adalah target kunci untuk mempromosikan kesehatan psikologi dan emosional, serta mengurangi resiko penyakit yang berkaitan dengan peradangan.

So, STOP Bullying!!
Yonatan Kristian Adechandra Sarumaha
http://www.kompasmuda.com/Karyamu/TahukahKamu/TabId/200/ArtMID/736/ArticleID/973/Bullying-Dapat-Mengakibatkan-Gangguan-Kesehatan-Jangka-Panjang.aspx

Manisfestasi Trauma KDRT Pada Masa Perkembangan Kanak-Kanak Hingga Remaja

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki resiko yang tinggi mengalami trauma atas pengalaman menyaksikan kekerasan, bahkan juga akhirnya turut menjadi korban penganiayaan. Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak (Carlson, 2000). Dalam hal ini posisi anak menjadi korban secara tidak langsung atau dapat disebut sebagai korban laten (Margaretha, 2007; 2010).
Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga atau korban KDRT secara tidak langsung juga dapat mengalami gangguan serius dalam perkembangan, mental dan emosional, perilaku, kesehatan, dan kemampuan akademisnya di sekolah (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006; Emery, 2011; Ramsay dkk., 2002). Tidak jarang, karena sering melihat kekerasan di sekelilingnya, anak menjadi cenderung agresif (externalizing problem behavior) atau menarik diri dari lingkungan sosialnya (internalizing problem behavior). Penting untuk dipahami bahwa ekspos kekerasan dalam rumah tangga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental; sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.
Lebih lanjut, penelitian longitudinal oleh Emery (2011) menemukan bahwa hubungan antara trauma menyaksikan KDRT dengan munculnya problem psikologis melemah seiring meningkatnya usia anak pada saat menyaksikan KDRT pertama kali. Usia anak pada saat terekspos KDRT menjadi moderator hubungan antara KDRT dan problem perilaku, atau dengan kata lain probabilitas munculnya problem perilaku akibat terekspos KDRT menjadi lebih rendah jika anak menyaksikan KDRT pada usia yang lebih tua. Hal ini mengindikasikan bahwa efek trauma KDRT mempengaruhi perkembangan psikologis anak.
Trauma menyaksikan dan atau mengalami KDRT dapat mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan anak dan manifestasinya dapat terjadi secara khas di masing-masing tahapan perkembangan. Jika trauma terjadi dalam periode yang cukup lama, maka efeknya juga akan semakin buruk atas perkembangan anak; bahkan efek kumulatif tersebut dapat terus mempengaruhi hingga masa dewasanya. Oleh karena itu, tulisan ini akan fokus untuk mengulas apa dan bagaimana pengaruh KDRT pada perkembangan psikopatologi sepanjang masa kanak hingga remaja. Berikut akan diuraikan pengaruh trauma KDRT yang dapat terjadi pada masa kanak awal, masa usia sekolah dan masa remaja.
Masa kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga 6-7 tahun), anak masih sangat tergantung pada pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya, oleh karena itu mereka mengembangkan kelekatan dengan pengasuhnya, biasanya ibunya. Hubungan antara anak dengan pengasuhnya dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya, dimana ciri kemampuan kognitif anak pada usia ini adalah pola pikir pre-operasional (Mc Devitt & Ormrod, 2002 dalam Vernon, 2009). Dalam masa ini, anak belajar lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat atau dengar daripada hasil logika berpikir mereka. Oleh karena itu mereka akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak, contohnya seperti kesulitan memahami apa dan bagaimana makna kematian.
Dalam hal perkembangan diri, mereka masih berada dalam fase egosentris, artinya mereka berasumsi bahwa semua pikiran dan perasaan semua orang sama atau merujuk pada pikiran dan perasaan mereka, sehingga mereka sulit memahami situasi dari perspektif orang lain (Vernon, 2009). Secara emosional, mereka sedang berproses untuk mengenali berbagai bentuk perasaan dan emosi, serta emosi apa dan bagaimana yang perlu ditunjukkan dalam suatu konteks situasi. Lebih lanjut, keterbatasan perbendaharaan kata dan kepekaan penggunaan kata yang dimiliki mereka masih terbatas, karena itu mereka juga sering menggunakan perilaku untuk mengungkapkan emosi atau perasaan mereka, contohnya: menangis dan melempar barang sebagai tanda perasaan marah. Oleh karena itu, anak pada masa kanak-kanak awal perlu mengembangkan kelekatan yang kuat (secured attachment) dengan pengasuhnya, dimana pengasuh akan berperan penting sebagai pemberi struktur dan sebagai panduan belajar dalam memahami dan mengendalikan emosi anak (Edleson, 1999).
Pada usia ini anak masih sangat bergantung pada pengasuhnya atas segala aspek kehidupan mereka, maka pengaruh negatif KDRT yang akan dialami akan lebih mendalam sepanjang hidup mereka (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001). Anak usia ini yang menyaksikan KDRT dapat memunculkan lebih banyak permasalahan perilaku, permasalahan relasi sosial, gejala post-traumatic stress disorder, dan kesulitan mengembangkan empati jika dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak menyaksikan KDRT (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001). Stress yang dialami balita muncul dalam berbagai gejala seperti: mudah menangis, kurang berkembang atau mundurnya kemampuan berbahasa dan toilet training (Osofsky, 1999); gangguan tidur, serta persoalan kelekatan dimana anak mudah takut dan stress jika ditinggal pengasuhnya (Lundy & Grossman, 2005). Juga ditemukan gejala psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, asma, insomnia, mimpi buruk, tidur sambil berjalan, dan eneuresis (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Gejala-gejala psikosomatis ini merupakan indikasi usaha ego mereka untuk melepaskan diri dari rasa takut atau kecemasan mereka yang disebabkan oleh stress menyaksikan KDRT.
Pertanyaan yang muncul dari sini adalah, bagaimana mekanisme munculnya permasalahan psikologis anak yang menyaksikan KDRT pada masa kanak-kanak awal? Pemahaman anak pada usia ini atas KDRT sebagai konsep yang abstrak masihlah terbatas. Mereka dapat membuat simpulan-simpulan sederhana tentang apa itu KDRT dari apa yang mereka lihat sehari-hari, seperti KDRT adalah bekelahi atau memukul; namun pemahaman mereka atas bagaimana dan mengapa KDRT terjadi belumlah utuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa efek negatif KDRT tidak terjadi secara langsung pada saksi KDRT balita melainkan pengaruhnya tidak langsung melalui hubungan kelekatan antara balita dan pengasuhnya. Ibu yang menjadi korban KDRT akan mengalami keadaan emosional yang negatif dan mendalam (emosi sedih, marah), hal ini membuat ibu kesulitan menyediakan kebutuhan emosi keamanan dan kenyaman yang konsisten bagi anak karena mereka sibuk dengan mengelola emosi negatif yang mereka alami sebagai korban KDRT. Terbagi di antara rasa sedih, marah dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anaknya. Jika orang tua gagal memberikan dukungan emosional bagi balitanya, maka akibatnya kelekatan antara orang tua-anak menjadi lemah (Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002) atau pada beberapa kasus anak dapat mengembangkan kelekatan ambivalen atau disorganized attachment, dimana ibu dilihat sebagai sumber rasa nyaman dan juga rasa takut (Martin, 2002).
Martin (2002) mencoba menjelaskan bahwa anak yang dibesarkan ibu korban KDRT mengalami kesulitan dalam menentukan pendekatan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan afeksinya yaitu rasa aman dan nyaman dari pengasuhnya. Akhirnya, ambivalensi ini membuat anak kesulitan belajar mengidentifikasi, memahami dan memilih emosi yang tepat untuk diungkapkan dalam suatu relasi yang dekat. Lebih lanjut ibu juga kurang dapat berperan menjadi panduan dalam memahami dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam suatu konteks. Misalkan, kemarahan ibu sebagai korban KDRT yang tidak tersalurkan juga ditemukan dapat disalurkan pada perilaku kekerasan dalam pengasuhan anak. Lebih lanjut, ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental juga berhubungan dengan semakin besarnya gangguan perkembangan anak. Hal ini dapat terjadi karena di satu sisi, depresi ibu semakin memperburuk pengalaman negatif anak atas KDRT (McKlosky dkk., 1995 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Namun di sini lain, ibu yang depresi juga cenderung mudah melaporkan bahwa anak-anak mereka menjadi sulit diatur, karena Ibu kewalahan mengelola perasaannya sendiri sehingga mereka kesulitan melakukan pengasuhan dan pengawasan anak (Edleson, 1999).
Masa usia sekolah
Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak mengembangkan kemampuan pemahaman emosi yang lebih kompleks. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih mampu merasakan apa dan bagaimana perasaan mereka dan juga mampu memahami bagaimana perasaan orang lain. Secara kognitif mereka juga mulai bergerak dari pola pikir pra-operasional menuju operasional konkret; dimana kemampuan berpikir menjadi lebih logis dan kemampuan memecahkan persoalan menjadi lebih baik. Kemampuan bahasa berkembang melalui eksplorasi dalam interaksi sosial. Akan tetapi, karena pola pikir yang masih konkret, masih belum memungkinkan mereka untuk mengolah hal-hal abstrak. Akibatnya, dalam berpikir mereka cenderung melompat pada simpulan tertentu tanpa berpikir untuk melihat berbagai kemungkinan atau alternatif lain terlebih dahulu (Vernon, 2009). Contohnya, jika ibu tidak memeluk saya seperti yang biasanya ia lakukan sebelum tidur, maka anak berpikir bahwa ada sesuatu yang ia lakukan sehingga membuat ibunya marah dan tidak mau memeluknya. Secara personal, perkembangan diri mereka berkembang dari pemahaman akan atribut-atribut yang mereka miliki. Atribut psikologis atau fisik seperti, “saya pintar”, atau “saya pendek” menjadi dasar pengembangan kompetensi dan harga diri (self-esteem) mereka. Pada masa ini, secara emosional mereka menjadi kritis terhadap diri sendiri dan peka terhadap masukan dari orang lain; oleh karena itu mereka mampu mengembangkan emosi kompleks seperti rasa bersalah, malu dan harga diri (Cole & Cole, 1996 dalam Vernon, 2009).
Pada usia sekolah, efek yang paling sering terlihat dari KDRT adalah kurang berkembangnya kemampuan sosial dan agresif, kesulitan menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, munculnya perasaan sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Persoalan yang paling besar mungkin adalah permasalahan dengan kemampuan sosial anak. Anak dengan keterbatasan kemampuan sosial dapat menjadi lebih reaktif-agresif atau menarik diri secara sosial; akibatnya mereka sering dilaporkan menjadi pelaku atau korban daribullying (Bauer dkk., 2006). Lebih lanjut anak-anak ini dapat mengalami kesulitan untuk mengikuti peraturan di sekolah, kurang mampu mengembangkan relasi yang bermakna dengan teman sebaya dan sulit mempercayai guru.
Perkembagan sosio-emosional anak usia ini membuat mereka mampu memahami lebih dalam fenomena KDRT, terutama bagaimana perasaan ibunya yang menjadi korban (Daniel, Wassell, & Gilligan, 1999 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Mereka juga mampu memahami alasan terjadinya KDRT dan melakukan prediksi kapan terjadinya KDRT di lingkungan rumah, bahkan pada kasus-kasus tertentu anak akan berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan di rumah berdasarkan pemahaman mereka tersebut.  Namun kemampuan kognitif dan emosional yang diiring sikap kritis mereka sering membuat usaha pemahaman mereka atas kejadian KDRT menjadi kurang tepat. Sering, anak-anak yang hidup dalam keluarga yang mengalami KDRT berpikir bahwa mereka turut memiliki andil atas terjadinya kekerasan di rumah. Contoh pikiran-perasan yang muncul pada anak-anak yang menyaksikan KDRT di masa ini adalah: “karena saya nakal maka ayah marah-marah dan memukul ibu”. Hal ini terjadi karena anak yang masih memiliki pola pikir egosentris, mengambil posisi kritis dengan menyalahkan diri sendiri atas terjadinya kekerasan pada ibunya (Vernon, 2009). Tidak jarang mereka akan berlogika bagaimana cara mencegah kekerasan terjadi di rumah (”saya akan berusaha tidak nakal agar ayah tidak marah-marah” atau “ayah memukul ibu karena rumah berantakan, maka saya akan membantu ibu memastikan rumah rapih”), bahkan bisa melakukan berbohong dan menutupi keadaan rumah dalam rangka menjaga kestabilan rumah dan keluarga. Jika tidak diresolusi, kesalahan berpikir ini dapat berpotensi menjadi dasar perilaku agresifnya baik secara sosial maupun dalam relasi intimnya di masa depan (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).
Masa remaja
Periode remaja berlangsung dari usia pubertas hingga usia kemasakan dewasa (11-12 tahun hingga 18 tahun). Pubertas ditandai dengan perubahan fisik dan hormonal. Secara kognitif, terjadi transisi secara bertahap dari pola piker operasional konkrit menuju operasional formal, dimana kematangan berpikir ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan mengkaji persoalan dari berbagai perspektif (Kaplan, 2000 dalam Vernon, 2009). Namun perlu dipahami bahwa pencapaian kematangan berpikir biasanya dicapai pada periode akhir masa remaja, dan waktu pencapaian kematangan berpikir ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan individual. Sedangkan seorang remaja muda (12-14 tahun), kemampuan penalaran yang lebih tinggi belum tentu ikut disertai pemahaman yang menyeluruh atas suatu situasi, misalnya: walau tahu orang tuanya tidak memperbolehkan pulang malam, remaja mudah akan mencoba menolak hukuman jika ia melanggar peraturan tersebut. Secara personal, remaja berusaha untuk membentuk pribadi yang unik dan lebih otonom. Namun pada remaja muda, usaha individuasi ini masih sering berkonflik dengan kebutuhan mereka yang masih tergantung pada orang tua baik secara ekonomi, psikologis dan sosial. Kebutuhan menjadi diri sendiri juga sering bersitegang dengan kebutuhan diterima oleh kelompok teman sebaya dan teman dalam relasi intimnya. Akibatnya mereka menjadi peka dan cenderung reaktif emosional terhadap persoalan yang berkaitan dengan orang tua dan remaja sebayanya.
Sedangkan pada remaja menengah-akhir (15-18 tahun), kemampuan berpikir secara formal telah berkembang sehingga lebih mampu melakukan perencanaan tentang masa depan yang lebih realistis. Secara personal, mereka berproses untuk mengembangkan identitas dan kemandirian, seiring dengan ini remaja juga mengalami tuntutan peran baru baik secara seksual, psikologis dan sosial sebagai individu yang berproses menuju kedewasaan. Kesuksesan dalam proses ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri-nya (self confident). Didukung dengan kedewasaan berpikir, remaja akhir lebih mampu mengendalikan emosi dan perasaannya daripada remaja muda (Vernon, 2009). Namun, pada usia ini remaja masih mungkin melakukan perilaku yang tidak konsisten antara sikap dan perilaku, contohnya: mengetahui bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual namun ketika diminta oleh pacarnya akhirnya melakukan perilaku seksual. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan kognitif sehingga mereka tidak mampu berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan keterbatasan pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang tepat.
Berbagai penelitian menunjukkan remaja yang menyaksikan KDRT menunjukkan banyak persoalan dalam relasi sosialnya, mereka mengalami kesulitan membentuk relasi intim yang sehat baik dengan teman sebaya maupun dengan teman dalam relasi intimnya (Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002). Remaja yang menyaksikan KDRT ditemukan memiliki masalah kelekatan sosial terutama munculnya sikap sosial menjauh (avoidant attachment style) yang berarti bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan sosial yang rendah pada orang lain (Levendosky dkk., 2002). Hal ini terjadi karena mereka melakukan sikap terhadap relasi sosial yang telah dipelajari dari lingkungan keluarganya. Berbagai literatur dan riset menemukan hubungan antara trauma masa remaja dengan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki pada pasangan perempuannya di masa dewasa. Edleson (1999) menyatakan bahwa pengalaman menyaksikan kekerasan dalam keluarga dapat digunakan menjadi prediktor atas kemunculan perilaku KDRT pada laki-laki dan prediktor atas pengalaman viktimisasi pada laki-laki dan perempuan dalam suatu relasi intim di masa dewasa. Remaja yang hidup di lingkungan KDRT ditemukan memiliki tingkat persepsi kontrol diri yang rendah dan distress personal, serta melakukan perilaku beresiko seperti eksperimentasi dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (Goldblatt, 2003).
Namun perlu dipahami bahwa tidak semua anak dan remaja yang mengalami dan atau menyaksikan KDRT akan menampilkan hanya perilaku berpersoalan, mereka juga dapat menunjukkan sikap dan perilaku positif untuk membantu atau memberikan dukungan emosional dan dukungan praktis untuk ibu atau korban kekerasan lainnya di keluarga. Anak dan remaja ini juga dapat mengadopsi perilaku merawat ibu, adik atau saudara sekandungnya, ia akan mengembangkan sikap melindungi keluarga walaupun ia memahami masih mengalami persoalan atas pengelolaan lingkungan yang mengalami kekerasan. Namun perlu dipahami, terkadang tindakan ini bisa juga berarti memperburuk tekanan trauma KDRT bagi remaja, karena beban psikologisnya sebenarnya bertambah dengan tanggung-jawab pengasuhan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan secara seksama bagaimana dinamika psikologis maisng-masing individu anak dan remaja dalam menghadapi pengalaman KDRT. Pemahaman atas dinamika psikologis korban serta disesuaikan dengan pertimbangan tahapan perkembangan psikologisnya akan dapat membantu proses intervensi dan pemulihan korban anak-remaja menjadi lebih optimal.
Margaretha  - http://psikologiforensik.com/2012/01/26/trauma-kdrt-dan-perkembangan-psikopatologi-masa-kanak-remaja/
Referensi
Bair-Merritt, M., Blackstone, M., & Feudtner, C. (2006).Physical Health Outcomes of Childhood Exposure to Intimate Partner Violence: A systematic review. Pediatrics, 117,278-290.
Bauer, N. S., Herrenkohl, T. I., Lozano, P., Rivara, F. P., Hill, K. G., & Hawkins, J. D. (2006). Childhood bullying involvement and exposure to intimate partner violence. American Academy of Pediatrics, 118, 235-242.
Carlson, B. E. (2000). Children exposed to intimate partner violence. Trauma, Violence, and Abuse, 1, 321-342.
Edleson, J.L. (1999). Children’s Witnessing of Adult Domestic Violence. Journal of Interpersonal Violence, 14, 839-869.
Emery, C.R. (2011). Behavior Problems and Exposure to Intimate Partner Violence Controlling for Selection Effects in the Relationship Between Child Behavior Problems and Exposure to Intimate Partner. Journal of Interpersonal Violence, 26, 1541-1558.
Fanani, E.R. (2006) Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga belum menjawab keadilan bagi korban KDRT. Sumber: http://www.bkkbn.go.id, akses: Agustus, 2007.
Goldblatt, H. (2003). Strategies of coping among adolescents experiencing interparental violence. Journal of Interpersonal Violence, 18, 532-552.
Holt, S., Buckley, H., & Whelan, S. (2008). The impact of exposure to domestic violence on children and young people: A review of the literature. Child Abuse & Neglect, 32, 797-810.
Huth-Bocks, A. C., Levendosky, A. A., & Semel, M. A. (2001). The direct and indirect effects of domestic violence on young children’s intellectual functioning. Journal of Family Violence, 16, 269-290.
Levendosky, A. A., Huth-Bocks, A. C., & Semel, M. A. (2002). Adolescent peer relationships and mental health functioning in families with domestic violence. Journal of Clinical Child Psychology, 31, 206-218.
Lundy, M., & Grossman, S. F. (2005). The mental health and service needs of young children exposed to domestic violence: Supportive data. Families in Society, 86, 17-29.
Margaretha (2007). Hak anak dalam kekerasan dalam rumah tangga: Menilik penjaminan hak anak dan penyelesaian konflik pada anak yang berada dalam keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional Universitas Airlangga, 2007.
Margaretha (2010). Children exposed to domestic violence: The latent victims. Disampaikan dalam Division of Forensic Psychology Conference from the British Psychological Society, pada tanggal 23-24 Juni di University of Kent, United Kingdom.
Martin, S. G. (2002). Children exposed to domestic violence: Psychological considerations for health care practitioners. Holistic Nursing Practice, 16, 7-15.
Martin, S.L., Gordon, T.E., & Kupersmidt, J.B. (1995). Survey of exposure to violence among the children of migrant and seasonal farm workers. Public Health Reports,110, 268-276.
Osofsky, J. D. (1999). The impact of violence on children. The Future of Children, 9, 33-49.
Suara Karya (2007) Artikel: Pemberdayaan Perempuan: KDRT hambat jiwa anak. Edisi Senin, 2 Juli 2007.
Vernon, A. (2009). Counselling for children and adolescents. Love Publishing Company: Denver.