Menanggapi hal itu, dr. AAA Agung Kusumawardhani, SpKJ (K) selaku ahli ganguan jiwa, psikiatri sekaligus Kepala Departemen Psikiatri RS. Cipto Mangunkusumo menjelaskan bahwa kehamilan pada penderita gangguan bipolar memang sangat berisiko, mengingat mereka harus mengonsumsi obat yang memiliki efek samping. Terlebih saat efek fase episodik bipolar muncul dan sering merugikan diri sendiri, bahkan melukai tubuh. Namun demikian, terkait semua itu bukan berarti penderita bipolar tak serta merta boleh memiliki anak. Yang utama adalah dukungan orang terdekatnya dan keluarga untuk bisa menjaga janin selama masa kehamilan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDa8r3hhs58-6MNa0VranB6Z8bISn6Zrz4IretrfyOey5By5AbAdWh79XU547GGl-qxrhUqG8FGLt-FV9yJHPth9nr8n9vPyUFKF64zYSVMKEnGoJ-lyjrXAHtT-eoPthzfHuxvztXt_M/s1600/121356523-Pregant-woman-and-husband.jpg)
Dia menambahkan bahwa masalah dari ibu hamil yang memiliki gangguan bipolar karena biasanya setiap hari harus minum obat, sementara tiga bulan pertama harus menjaga kehamilan dengan hati-hati.
“Pasien bipolar disarankan tidak mengonsumsi obat-obatan saat tiga bulan pertama karena tidak ada penelitian yang mengatakan obat aman pada ibu hamil. Terkait semua itu sekali lagi, penderita bipolar itu masih punya kesempatan punya anak, tetapi tetap risikonya harus disampaikan dan kita balik lagi ke pasien bersangkutan," katanya.
Terpenting, tambah dia, saat obat-obatan disetop untuk pembentukan janin secara optimal, para orang terdekat penderita gangguan bipolar harus berjaga-jaga dan terus mendukung agar kehamilannya tidak terganggu.
"Saat penderita bipolar harus minum obat setiap hari, kemudian berhenti sama sekali saat masa kehamilan, kondisi itu akan berisiko ke kehamilannya. Di sini lah orang terdekat harus berjaga-jaga, kunci penting kehamilan penderita gangguan bipolar bisa terjaga," tutupnya.
(tty)
No comments:
Post a Comment