Thursday, July 25, 2013

Puasa: Keajaibannya Bagi Kestabilan Mental dan Fisik


Bukan hanya awet muda, puasa pun memiliki dampak luar biasa terhadap pikiran. "Puasa ibarat mata air. Semakin digali airnya semakin deras," kata seorang master trainer sekaligus pakar Neuro-Linguistic Programming (NLP), Ikhwan Sofa.

Puasa akan mengurangi atau menghentikan sementara proses-proses fisiologis atau metabolisme didalam tubuh kita, khususnya disaluran pencernaan.  Penghentian proses metabolisme itu membawa empat rangkaian proses yang berdampak besar pada kesehatan.  Bila seseorang bepuasa berarti ia, pertama membatasi jumlah makanan yang masuk dalam saluran pencernaan, kedua, ia telah menurunkan intensitas kerja sistem pencernaan kita.

Lalu ketiga, dengan turunnya intensitas kerja itu, turun pula kemungkinan adanya racun dari dalam tubuh, baik endotoksin (racun dari dalam tubuh sendiri) maupun eksotoksin (racun dari luar tubuh). Berkurangnya bahan yang harus dicerna juga akan membuat tubuh kita tidak memaksakan diri untuk mengeluarkan hormon dan enzim pencernaan secara besar-besaran.


Bayangkan sebaliknya bila anda tidak berpuasa. Yang pasti semua makanan yang masuk dalam tubuh harus dicerna. Mau tidak mau, kita akan memaksa organ pencernaan kita bekerja lebih keras. 

Menurut para pakar, yang disebut awet muda pada dasarnya adalah proses penuaan dini yang dihambat.  Diantara beberapa teori penuaan salah satu yang paling terkenal pada tahun 1950-an adalah teori radikal bebas. Teori radikal bebas berbunyi," kalau didalam tubuh kita banyak radikal bebas, maka radikal bebas itu secara seluler (arahnya ke sel-sel tubuh) akan merusak dinding sel. Perusakan dinding sel itu akan mempercepat penuaaan.”

Puasa ternyata ampuh melindungi dinding sel.  Dinding sel bisa dipertahankan karena radikal bebasnya tidak ada atau dikurangi (karena puasa), maka orang menjadi awet muda”

Ada sebuah penelitian yang mengungkapkan bahwa pada orang yang berpuasa, MDA (melondealdehid) yang sifatnya radikal bebas, ternyata berkurang hingga 90%. Bersama dengan itu, disisi lain puasa meningkatkan pembuatan antioksidan hingga 15%. “Jadi disatu sisi radikal bebas itu dipangkas, disisi lain musuh radikal bebas (antioksidan) ditingkatkan” Oleh karena itu, kita tak perlu heran lagi kenapa rajin berpuasa bisa bikin awet muda

Pikiran Lebih Tajam 


"Begitu juga dalam ilmu modern, setiap hari manfaat puasa dapat ditemukan dari berbagai aspek," ujarnya. Pengaruh puasa pada pikiran dan mental itu pula yang mempengaruhi tampilan muda seseorang.

Ia  mengungkapkan selama berpuasa, kerja pikiran melambat. Pelambatan tersebut, menurut Ikhwan, membuat pikiran lebih jernih karena berpikir lebih dalam.

Secara ilmiah, ungkap Ikhwan, pikiran yang melambat ketika lapar, ternyata menjadi lebih tajam, juga secara instingtif. Bukti ilmiah ini bisa diterima terkait dengan fakta bahwa masalah lapar adalah masalah kelanjutan hidup. Jadi wajar saja, jika rasa lapar membuat pikiran semakin tajam dan kreatif.

Ikhwan menunjukkan sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Sekelompok mahasiswa di University of Chicago diminta berpuasa selama tujuh hari. Selama masa itu, terbukti bahwa kewaspadaan mental mereka meningkat dan kemajuan mereka dalam mengerjakan penugasan terlihat signifikan, dan bahkan mendapat nilai tinggi.

Bisa disimpulkan, menurut Ikhwan, fisik dan mental mengalami kenaikan tingkat saat berpuasa. Salah satu yang paling menonjol adalah kestabilan emosi, yang disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ketergantungan pada makanan, terutama dari makanan dan minuman pemicu emosi seperti kopi, coklat, gula, dan lemak yang telah terbukti punya dampak buruk mempengaruhi mood.


Redaktur : Ajeng Ritzki Pitakasari http://www.republika.co.id

Thursday, July 18, 2013

Hubungan Antara Pola Pengasuhan, Trauma Dan Gangguan Kepribadian

Yuli Azmi Rohali
Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul, Jakarta




Proses perkembangan kepribadian tidak terlepas dari pola pengasuhan di masa kanak-kanak, bahkan semenjak masih di dalam kandungan yang akan mempengaruhi kepribadian di masa-masa berikutnya. Tahun-tahun per-tama kehidupan anak merupakan masa yang paling potensial untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian untuk di masa-masa berikutnya. Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek yang sangat  besar, seperti mengalami gangguan-gangguan kepribadian.

Orang tua ingin anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa dengan kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka seringkali merasa putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat memenuhi standar keinginan mereka. Saat membahas hubungan orang tua-anak, menemukan bahwa para orang tua terlalu menggunakan kasih sayang dalam kewenangan mereka. Orang tua me-nuntut anak-anak mereka untuk patuh dan men-jalankan aturan-aturan yang diterapkan dengan pe-mikiran bahwa aturan-aturan tersebut untuk kepentingan masa depan anak-anak atau lebih se-ring karena rasa sayang orang tua terhadap anak-anaknya.  Aturan-aturan yang ditetapkan akan ber-fungsi dengan baik, apabila orang tua didalam menerapkan suatu aturan juga disertai dengan pen-jelasan dan harapan-harapan yang ingin dicapai. Sehingga anak akan memahami dan menghargai serta mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Prasetya (2003), mengatakan bahwa pene-rapan pola asuh yang kurang tepat dapat menim-bulkan permasalahan yang justru sebaliknya tidak kita inginkan, bahkan dapat menimbulkan resiko anak akan memiliki gangguan kepribadian pada kontinum yang variatif tinggi. Masih menurut Prasetya (2003), ditemukan di beberapa negara, se-perti Amerika Serikat, Finlandia, Jerman dan Jepang, data statistik menunjukkan bahwa anak-anak yang potensial menderita gangguan kepriba-dian (personality disorder) berkisar sekitar 20%.  Bila mengacu data di atas, dapat diasum-sikan bahwa penerapan pola asuh oleh orang tua dapat menjadi titik penentu kepribadian yang akan dimiliki oleh anak. Apa yang dapat terjadi apabila sebagai orang tua hanya mempertimbangkan segala sesuatu hanya dari sisi kepentingan orang tua tanpa mempertimbangkan kepentingan anak-anak.
Pola Asuh
Baumrind (Santrock, 2003) menekankan tiga jenis cara dalam pengasuhan, yaitu authorita-rian (authoritarian), authoritative (autoritatif) dan permissive (permisif).  Autoritarian (authoritarian), Yaitu gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan keingi-nannya. Orang tua yang bersifat authoritarian mem-buat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Komunikasi dalam pola asuh ini bersifat satu arah, yaitu bersumber hanya dari orang tua. Sebagai contoh, seorang orang tua authoritarian dapat me-ngatakan, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!”

Autoritatif (authoritative). Pola pengasuhan autoritatif mendorong dan membebaskan anak tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tin-dakan-tindakan atau perilaku anak. Dalam pola pengasuhan ini, komunikasi verbal secara timbal balik bisa berlangsung dengan bebas (komunikasi bersifat 2 arah), orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Orang tua yang autoritatif dapat merangkul anaknya bila anak berada dalam suatu permasalahan, biasanya secara verbal orang tua akan mengatakan, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Ayo, kita bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik lagi.”
Permisif (permissive). Ada dua macam pengasuhan permisif, yaitu permisif memanjakan dan permisif tidak peduli (Maccoby & Martin dalam Santrock, 2003). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola pengasuhan orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Orang tua dengan gaya seperti ini, biasanya tidak bisa menja-wab pertanyaan, “Sekarang sudah jam 10 malam. Apakah anda tahu di mana anak anda berada?” Sedangkan gaya pengasuhan permisif-memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang mereka inginkan.
Gangguan Kepribadian
Beberapa jenis gangguan kepribadian yang cukup populer antara lain: (Prasetyo, 2003)
1. Antisocial Personality Disorder (APD)
Gangguan kepribadian jenis ini biasanya terjadi pada anak laki-laki. Perilaku anak-anak APD cen-derung melanggar aturan-aturan dan tidak meng-hormati norma-norma atau hukum formal yang berlaku. Mereka senang berkelahi karena agresi-vitasnya yang sangat tinggi. Mereka seperti mera-sa puas bila orang lain menderita, baik secara fisik maupun non-fisik. Untuk mencapai keinginan-keinginannya, anak APD akan berbohong bahkan memfitnah orang lain. Mereka cenderung impul-sive dan berpikiran pendek tanpa mempertim-bangkan resiko. Anak APD kurang memiliki tanggung jawab, baik pada keluarga, pekerjaan maupun sosial (lingkungan).
Gangguan kepribadian ini paling berbahaya bila dibandingkan dengan gangguan penyimpangan lainnya, karena dapat mengakibatkan penderitaan bagi orang di luar lingkungan primernya.
2.    Histrionic Personality Disorder (HPD)
Penderita gangguan HPD kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Perilaku penderita HPD da-lam keseharian cenderung terlalu emosional, ingin menjadi pusat perhatian dari lingkungannya. De-ngan berbagai macam cara mereka berupaya menarik perhatian lingkungan dalam lingkaran yang paling dekat dan lingkungan luar seperti teman-temannya.
Reaksi-reaksi emosionalnya diungkapkan secara berlebihan, bahkan agak hiperbolis dan dramatis. Pada umumnya tampak selalu ceria, tersenyum dan penuh canda tawa. Senang disanjung terutama yang menyangkut penampilan fisik, kecan-tikannya dan cara dalam berpakaian, dan mereka akan bersedia membalas “budi” penyanjungnya dengan cara apa saja. Dalam beberapa kasus penderita HPD, ia mampu atau bersedia me-langgar norma kesusilaan yang wajar.
Situasi emosionalnya tidak menentu, sering ber-ubah-ubah. Pada suatu saat disanjung mereka sangat senang, namun disaat lain dapat berubah menjadi marah besar yang sulit diketahui penye-babnya.
Meskipun penderita HPD tidak seserius penderita APS, namun penderita HPD dapat mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan orang-orang di sekitarnya.
3.    Narcissistic Personality Disorder
Penderita gangguan narcissistic personality disor-der (NPD) ini sangat mementingkan diri sendiri, terkadang dapat mengekspoitasi orang lain, tidak memiliki empati dan dilain pihak mereka sering-kali tidak menghargai diri sendiri.
Penderita NPD harus diperhatikan dan diawasi terus-menerus sepanjang waktu. Mereka terbe-lenggu oleh impian-impian yang muluk-muluk, atau kekuasaannya atau kepintarannya. Namun, mereka sangat paradoksal. Mementingkan diri sendiri tetapi tidak memiliki kepercayaan diri dan penghargaan atas dirinya sendiri, merasa dirinya tidak berarti.
4.    Borderline Personality Disorder
Situasi emosional penderita borderline personality disorder (BPD) tidak menentu, berubah-ubah, impulsive dan seringkali marah tanpa diketahui secara jelas penyebabnya. Kemarahannya diung-kapkan secara eksplosif, meledak-ledak dan berlebihan, terkadang disaat dan dengan cara yang tidak tepat.
Mereka tampak ketakutan bila harus sendirian, sehingga dimanapun dan kemanapun pergi harus ada yang menemani. Mereka memiliki kecen-derungan untuk menyakiti atau merusak dirinya sendiri. Seperti ngebut tanpa control diri yang baik, melukai anggota badannya. Banyak pen-derita BPD yang menggunakan obat-obatan terla-rang, minum-minuman keras. Bagi penderita BPD yang parah, banyak yang mengakhiri penderitaan dengan cara bunuh diri.
Menurut Meninger (Atwater, 2000) individu dengan kepribadian yang sehat adalah individu yang dapat menyesuaikan dirinya terhadap dunianya dan terhadap sesama manusia lainnya secara efektif dan kebahagiaan yang maksimum. Menurutnya,  indi-vidu dengan kepribadian yang sehat akan mampu mengatur emosi, kecerdasan, perilaku sosial yang dapat diterima dan dalam kondisi bahagia.
Ada banyak factor yang dapat membentuk kepribadian yang sehat seorang anak, salah satunya adalah hubungan antara anak dengan orang tuanya di masa perkembangan awal. Hubungan antara orang tua dan anak dimasa perkembangan awal ini menjadi dasar anak dalam membentuk kepribadian hingga membentuk kematangan pada saat anak menginjak dewasa (Bigner, 2003). Hubungan atau interaksi antara orang tua dan anak inilah yang disebut dengan pola asuh. Berikut ini kita akan coba melihat pembentukan kepribadian anak melalui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.
Pola asuh autoritarian, orang tua mengasuh anaknya dengan segala sesuatu berpusat di orang tua. Orang tua menerapkan peraturan yang disertai dengan hukuman bila dilanggar dan anak harus mentaati  tanpa diberi kesempatan untuk menguta-rakan pendapat dan perasaannya. Komunikasi dalam pola pengasuhan ini bersifat satu arah yaitu terpusat pada orang tua. Orang tua mengasuh anaknya secara keras dan tegas. Namun demikian pola asuh otoritarian, tetap  berlandaskan pada rasa cinta orang tua kepada anaknya, hanya penerapan yang kurang tepat untuk perkembangan kepribadian anak.
Penerapan pola asuh autoritarian ini, dapat menimbulkan gangguan kecemasan pada anak, ketidak mampuan anak dalam pengambilan kepu-tusan dan anak akan memiliki kemampuan komuni-kasi yang rendah. Anak-anak tidak memiliki kesem-patan untuk mengutarakan pendapat dan keinginan-nya sehingga mereka tidak terbiasa untuk mengu-tarakan keinginannya ataupun memutuskan penye-lesaian permasalahan yang dihadapinya. Anak tidak mengetahui bagaimana harus bersikap, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan keragu-raguan dan cemas.
Kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, harus sesuai dengan keinginan orang tua. mereka harus menanyakan terlebih dahulu apabila mereka menginginkan sesuatu sehingga anak tidak mandiri. Kondisi ini dapat membuat anak frustasi dan agresif bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim dapat menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan dan bunuh diri (Zainudin, 2002). Bahkan menurut Prasetya (2003), anak yang diasuh dengan pola asuh ini dapat menderita gangguan kepribadian seperti antisocial personality disorder bahkan borderline personality disorder. Anak APD dan BPD ini cenderung impulsive dan berpikiran pendek tanpa mempertim-bangkan resiko dan mereka pun sulit mengontrol dirinya sendiri, cemas bila harus melakukan pengambilan keputusan dan takut bila sendiri. Mereka selalu membutuhkan orang lain sebagai pendampingnya, mereka kurang memiliki tanggung jawab baik pada keluarga, pekerjaan dan lingkungan sosial.
Walaupun demikian pola asuh autoritarian pada dasarnya adalah bertujuan untuk membuat anak menjadi disiplin dan teratur. Orang tua berpikir mereka lebih mengetahui kepentingan dan kebutu-han anak-anak mereka. Namun sikap mengabaikan dan tidak mempertimbangkan kepentingan anak serta ketidakterbukaan sikap orang tua, cenderung akan membuat anak tidak terlatih untuk mandiri.
Pola asuh permisif, baik permisif-tidak peduli maupun permisif-memanjakan, memiliki kekurangan dalam hal mengatur anak-anaknya. Pola asuh ini memberikan kebebasan kepada anaknya, orang tua tidak mencampuri kehidupan anak-anak mereka. Mereka sedikit sekali menuntut atau me-ngendalikan mereka. Akibatnya adalah si anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya.
Orang tua yang mengasuh anaknya dengan permisif akan menghasilkan anak yang memiliki pengendalian diri yang negatif. Mereka akan me-miliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan. Bahkan mungkin saja mereka dapat mengalami gangguan kepribadian seperti narsistic personality disorder, borderline personality disor-der dan  histrionic personality disorder.
Gangguan kepribadian ini dapat dialami oleh anak-anak permisif, karena mereka  diasuh de-ngan kebebasan yang berlebihan tanpa ada batasan dan kontrol dari pihak orang tua, sehingga mereka akan sulit memberikan respon emosional yang tepat, mereka lebih mementingkan diri sendiri dan respon yang diberikan pun sering berlebihan. Mereka berusaha mendapatkan perhatian dengan segala cara walaupun harus melanggar norma-norma kesusilaan yang wajar.
Anak dapat melakukan apapun yang dia inginkan tanpa harus dibicarakan terlebih dahulu kepada orang tua. Anak tidak mengetahui apa dan mana yang benar atau apa dan mana yang salah, sehingga mereka sulit menempatkan diri di lingkungan dan mereka pun akan sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Selain itu, anak menjadi tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi di sekitarnya.
Sedangkan pola asuh autoritatif, adalah pola asuh dengan sistem pengasuhan yang demokratis. Pada pola pengasuhan ini anak memiliki kesem-patan untuk melakukan keinginan-keinginannya dan bebas untuk mengutarakan pendapat dan perasa-annya. Walaupun demikian hukuman tetap dite-rapkan dan kesepakatan yang telah dibuat tidak boleh dilanggar. Jadi walaupun anak bebas mela-kukan aktifitas, orang tua tetap melakukan kontrol dan bertindak tegas. Aturan yang diterapkan juga disertai oleh penjelasan kepada anak-anak dan anggota keluarga yang lainnya. Orang tua selalu berusaha menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak-anaknya dan mau mendengarkan cerita anaknya. Orang tua menghargai keputusan dan kei-nginan dari anak-anaknya. Anak yang diasuh dalam pola asuh autoritatif akan sadar diri dan ber-tanggung jawab secara sosial. Mereka terlatih untuk mengambil keputusan secara mandiri dan mereka tidak takut untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya.
Dari pola asuh autoritatif, autoritarian dan permisif, pola asuh autoritatif atau demokrasi lebih memberi kesempatan berkembangnya kepribadian dan aspek-aspek psikologis lainnya menjadi lebih baik dibandingkan 2 pola asuh lainnya. Dengan pola asuh autoritatif, anak-anak diasuh dengan penuh cinta kasih, anak-anak diberikan kebebasan dan kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan perasaan yang dirasakan oleh anak. Anak dapat melakukan aktivitas tanpa diikuti oleh perasaan takut, mereka terlatih untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab.
Hubungan antara kecenderungan psikologis pada proses pengasuhan pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat berpengaruh terhadap pro-ses-proses perkembangan pada fase-fase berikutnya. Pola pengasuhan di awal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang akan terus berkembang pada fase-fase berikutnya. Proses pengasuhan di masa bayi akan mendasari kepribadian anak di masa kanak-kanak. Proses pengasuhan di masa kanak-kanak akan mendasari kepribadian di masa hidupnya (Erikson dalam Prasetya, 2003). Kepriba-dian seseorang di masa dewasa tidak dapat dilepas-kan begitu saja dari proses pengasuhan di fase-fase sebelumnya. Tingkah laku seseorang di masa dewasanya sangat mungkin dipengaruhi oleh kon-disi pengasuhannya di masa kanak-kanak.
Kesimpulan
Bila melihat uraian di atas, terlihat bahwa secara menyeluruh penerapan pola asuh akan berakibat kepada kemampuan anak dalam berso-sialisasi pada saat si anak beranjak remaja sampai dewasa. Mereka yang mengalami gangguan kepri-badian akan mengalami hambatan pada saat dia de-wasa bahkan dalam membangun kariernya (Mangoenprasodjo, 2005). Para peneliti terus men-cari bukti yang mendukung keyakinan bahwa pola pengasuhan otoriter dan permisif kurang efektif dibandingkan gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif (Durbin, dkk, 1993: Lamborn, Dornbusch & Kraemer, 1990; Taylor, 1994, dalam Santrock, 2003).
Banyak orang tua menggunakan kombinasi beberapa teknik, daripada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu teknik bisa lebih dominan.  Pengasuhan yang konsisten biasanya lebih disaran-kan. Orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu dan lebih bersifat otoriter pada situasi yang lain, namun lebih otoritatif di situasi yang berbeda.
Referensi:
American Psychiatry Association, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder”, 4th ed. American Psychiatric Association, Washington, D.C, 2000.
Mangoenprasodjo, A. Setiono. ”Anak Masa Depan Dengan Multi Intelegensi”, Pradipta Publishing, Yogyakarta, 2005.
Munandar, Utami, ”Bunga Rampai, Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia”,  Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Mu’tadin, Zainun. http://www.e-psikologi.com/ remaja/060808.htm
Prasetya, G. Tembong, ”Pola Pengasuhan Ideal”, Gramedia, Jakarta, 2003.
Santrock, John W., ”Adolescence: Perkembangan Remaja”, Ed. 6, Erlangga, Jakarta, 2003.
Seifert, Kelvin L; Hoffnung, Robert J.,  “Child and Adolescent Development”, Houghton Mifflin Company, Boston, 1997.
Slamet, Suprapti & Markam, Sumarmo,  ”Pengantar Psikologi Klinis”  Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
Wenar, Charles & Kerig, Patricia,  “Developmental Psychopathology From Infancy through Adolescence”, 4th ed. McGraw-Hill Higher, Inc, USA, 2000.