Perempuan lebih mungkin terkena gangguan mental drastis di beberapa titik dalam kehidupan mereka jika mereka telah menjadi korban perkosaan, kekerasan seksual, pengintaian, atau kekerasan oleh sahabat atau kekasih, demikian menurut sebuah studi baru dalam Journal of American Medical Association.
Hubungan antara pengalaman yang mengerikan dan kesehatan mental yang buruk tidak mengherankan, para ahli mengatakan temuan baru itu menyoroti betapa kuat dua masalah yang saling terkait tersebut, dan bagaimana pentingnya bagi para dokter dan pekerja kesehatan untuk bertanya kepada wanita kapan terakhir mereka mengalami kekerasan, tak peduli jika kejadian tersebut sudah berlalu sekian tahun lalu.
“Jika para professional di bidang kesehatan melakukan perawatan kepada perempuan yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental, sangat baik jika melihat petunjuk adanya kekerasan yang dialami mereka sebagai penyebabnya,” ujar Andrea Gielen, Sc.D., Direktur Center for Injury Research and Policy at Johns Hopkins University, di Baltimore, dimana ia juga terlibat aktif dalam penelitian.
Riset di Australia menganalisa sampel yang mewakili data kesehatan perempuan Australia usia antara 16 hingga 85 tahun. Mendapatkan kekerasan seksual, intimidasi dalam bentuk pengintaian dan “kekerasan berbasis gender” lainnya adalah hal yang sangat biasa mereka terima, angkanya berada pada 27% laporan setiap kelompok yang mengalami minimal satu kekerasan.
Lima puluh tujuh persen perempuan yang mengalami kekerasan juga memiliki kisah terkena depresi, bipolar disorder, stress pascatraumatik, penyalahgunaan zat, atau resah berlebihan (termasuk gangguan kepanikan dan gangguan obsesif kompulsif), disbanding 28% perempuan yang tidak mengalami kekerasan berbasis gender.
Diantara para perempuan yang mengalami tiga kekerasan dalam hidupnya, tingkat kemungkinan mengalami gangguan mental atau penyalahgunaan zat meningkat hingga 89%.
“Tingkat kekuatan dan lamanya hubungan antara kekerasan dan gangguan mental yang kami temukan sangat mengejutkan dan sangat kuat,” ujar penulis utama Susan Rees, PhD, seorang periset senior psikiatri di the University of New South Wales, di Sydney.
Rees dan koleganya belum bisa mengatakan dengan pasti gangguan mental lainnya dalam penelitian tersebut yang dipicu oleh kekerasan, atau perempuan yang belum terkena masalah kesehatan mental lebih cenderung jadi korban kekerasan. (Mereka melakukan berbagai upaya, termasuk kontrol untuk berbagai faktor yang berpotensi mengurangi, diantaranya status sosial ekonomi dan riwayat keluarga mengenai masalah kejiwaan).
Tapi ada "cukup bukti" bahwa trauma – terutama peristiwa traumatis antarpribadi, seperti kekerasan dalam rumah tangga – dapat memicu masalah mental, kata Rees. Selain itu, ia menambahkan, kekerasan berbasis gender sering terjadi dimasa muda, sedangkan gangguan mental sering tidak muncul hingga bertahun-tahun kemudian.
No comments:
Post a Comment