Tak disangka, saya (kembali) menulis mengenai bipolar disorder. Dan latar belakang penulisannya masih sama, atas dasar rasa yang tulus untuk seseorang.
Setiap kita pasti pernah merasa depresi atau euphoria dalam lingkaran hidup yang dijalani. Tapi tak semua orang memiliki kemampuan untuk menghadapi dua rasa yang jamak itu.
Trauma masa lalu, kemampuan memecahkan masalah, dan mekanisme kimiawi tubuh adalah unsur yang membantu kita berhasil melalui dua rasa itu atau justru sebaliknya. Dan bagi pengidap bipolar disorder, dua rasa itu adalah ‘beban’ yang harus mereka pikul seumur hidup.
Sebelum cerita banyak soal Bipolar Disorder, ada baiknya liat thriller film At the Bottom of Everything (Di Dasar Segalanya). Ini film karya Paul Agusta, salah satu sutradara film indie yang berbakat.
Apa kesan yang timbul saat menonton film itu? Mendapat sedikit gambaran soal Bipolar Disorder atau justru memancing seribu pertanyaan tentang mahluk apakah Bipolar Disorder? Sebelum (berusaha) menjawab, saya ingin kasih gambaran bahwa film ini adalah pengalaman sang sutradara. Iya, Paul Agusta adalah pengidap Bipolar Disorder.
Film ini adalah diari visual dari perjalanan Paul ketika harus masuk sanatorium Dharmawangsa, Jakarta. Jujur saya belum berhasil menonton film ini secara full. Salah seorang sahabat saya yang sudah menonton, menyarankan saya untuk menyaksikan film ini ketika mendengar niat saya menulis soal Bipolar Disorder.
Saya sudah coba kontak Paul untuk mencari tahu apakah filmnya sudah dijual dalam bentuk CD atau DVD. Jawabannya, belum. Karena Paul harus merilisnya di Belanda terlebih dahulu. Sebab pemberi donor untuk membuat film ini asalnya dari negara kincir angin itu.
Tapi saya harus menulis tentang Bipolar Disorder, sebagai cara untuk menunjukkan kepedulian saya yang tulus pada seseorang yang pernah begitu dekat dengan saya. Belakangan saya dapat info kalau dia semakin tenggelam dalam aura depresi, emosinya semakin gelap.
Saya, sedikit banyak bisa membayangkan apa yang terjadi. Karena waktu, pernah membawa saya untuk menemani dia menghadapi kelamnya rasa itu. Sama seperti ketika waktu juga menghampiri saya untuk ikut merasakan euforia yang dia rasakan ketika itu.
Tapi saat ini, situasi membuat saya hanya bisa membayangkan. Walaupun ketika saya mendengar ceritanya, tak bisa dipungkiri, hati kecil saya langsung bertanya apa yang bisa kita lakukan? Ternyata pundaknya terus membawa kayu bakar yang tak sekadar membebani tapi juga melukai kulitnya. Ah menuliskannya saja membuat saya deg-degan.
Hingga kemudian salah seorang sahabat saya menyarankan agar saya menulis kembali tentang Bipolar Disorder. Mari kita mulai pesan antara rasa dengan kepedulian ini.
Secara sederhana, bipolar disorder adalah kondisi mental di mana seseorang bisa dengan mudah mengalami euforia atau manic yang kemudian berganti wujud menjadi depresi. Secara biologis, perubahan emosi yang drastis ini terjadi karena adanya produksi hormon kortisol atau hormon stres berlebih dalam otak. Sehingga orang dengan Bipolar Disorder akan sangat mudah tenggelam pada aura depresi.
Salah satu literatur menyebutkan, banyak orang bipolar disorder yang juga mengalami chocolate craving. Sebab secara insting ketika tubuh kelebihan hormon depresi maka akan mencari makanan yang dapat menekan produksi hormon itu. Dan cokelat adalah makanan yang secara umum diketahui bisa meminta tubuh untuk mengeluarkan hormon relaksasi. Sama seperti ketika kita terlalu lapar, produksi insulin akan merosot dan membuat otak memerintahkan kita mencari makanan mengandung karbohidrat tinggi secara insting. Mengapa insting memilih makanan berkarbohidrat? Sebab ini adalah jenis makanan yang bisa dengan kilat menaikkan produksi insulin dalam darah dan kembali membuat kita berenergi.
Tapi sering kali pengidap bipolar disorder tidak tahu ada gangguan pada hormon mereka. Yang mereka mengerti, hidup adalah beban karena semua yang terjadi tidak pernah lepas dari nilai menyempurnakan keadaan. Itu mengapa ciri berikut dari pengidap bipolar disorder adalah perfeksionis. Karena sedikit kesalahan saja bisa menjadi pemicu bagi episode depresi. Bahkan tidak jarang kebahagiaan juga dianggap beban, karena yang mereka pikirkan bahwa kebahagiaan adalah tuntutan bagi mereka untuk menjalankan hidup dengan sempurna. Padahal mereka kesulitan mendefinisikan kesempurnaan karena rasa yang mereka punya hanyalah ketakutan, kegalauan, keterbatasan, dan kesendirian. Seperti yang diucapkan perempuan pada film At the Bottom of Everything, ” Hidup tanpa senja, tanpa fajar. Hidup dalam keterangan yang membutakan, dan kegelapan yang ditemukan, tak ada antaranya.”
Maka mereka akan sangat sering memikirkan kondisi terburuk bukan karena untuk mengantisipasi diri tapi lebih kepada melihat itu sebagai realitas sesungguhnya. Alhasil sebelum melakukan apapun, mereka akan panik dan menarik diri. Menyendiri adalah cara untuk menutupi ketakutan dari menghadapi yang akan datang.
Situasi yang gelap ini pada akhirnya hanya akan melukai diri sendiri. Sebab mereka tidak pernah percaya pada diri sendiri. Mereka jarang merasa bahwa dirinya bisa membuat dunia menjadi lebih baik. Dunia ini fana maka kita ikut menjadi bagian dari kefanaan. Depresi adalah periode kelam yang panjang bagi pengidap bipolar disorder.
Itu kenapa dalam filmnya, Paul bercerita, betapa pengidap bipolar disorder hanya akan jatuh, jatuh, dan jatuh. Karena mereka tidak pernah berhasil menyembuhkan luka dari tubuh (baca : diri mereka). Alhasil rasa kelam dan depresi itu ibarat tikus yang mengrogoti seluruh tubuh tanpa ampun. Menurut saya pemilihan tikus pada film Paul adalah metafora yang tepat. Sebab tikus adalah binatang pengerat yang hobinya menggrogoti apapun. Dan apabila dibiarkan, tikus bisa menyelinap ke kamar tidur kita untuk kemudian berkoloni di mana pun.
Pernah mencoba membunuh tikus? Kita gunakan perangkap, paling hanya berhasil beberapa kali. Sebab tikus salah satu mamalia yang mengalami proses belajar untuk bertahan hidup. Sebenarnya cara untuk membuat tikus malas bertandang ke rumah adalah dengan tidak menyediakan ruang bagi dia untuk merasa nyaman. Tapi rasanya sangat mustahil, sebab tikus juga bisa hidup di gorong yang paling jorok atau gelap sekali pun. Itu mengapa melalui analogi tikus, Paul coba menggambarkan pada titik tertentu, semua kita memiliki potensi untuk menjadi bipolar disorder.
Hanya saja pada orang yang berhasil menghapus potensi itu, mereka punya keberanian untuk menuntaskan kekelaman dengan cepat. Sedangkan bagi pengidap bipolar disorder, itu adalah tantangan terberat mereka. Selain karena masalah hormon, mereka sudah terbiasa untuk mengurung diri dalam kekelaman. Alhasil, mereka merasa digrogoti rasa gelap yang kemudian menjadi bagian dari diri mereka. Bagian dari eksistensinya. Padahal mereka hanya tidak tahu dan tidak berani menemukan cara membunuh rasa takut.
Rasa takut memang bukanlah hal yang menyenangkan. Itu adalah undangan untuk depresi. Dan saat mereka merasa tak ada lagi cara dari berhenti bertatapan dengan rasa takut, yang mereka pikirkan adalah mengakhiri hidup. Maka penelitian membuktikan 1 dari 5 pengidap bipolar memutus rasa takut dengan memotong jalan hidup. Ini juga yang menjadi salah satu ciri pengidap bipolar disorder, mereka sering berpikir mengakhiri kehidupan. Bahkan beberapa diantara mereka tak ingin menyimpan benda-benda tajam karena takut tergoda untuk menggunakannya ketika periode depresi datang menghampiri.
Tapi bukan hanya depresi yang menjadi tantangan bagi pengidap bipolar disorder. Ada emosi yang namanya manic, dimana semua yang terjadi akan diartikan dengan euforia yang berlebihan. Ini ditandai dengan memiliki energi berlebih, tidak bisa menyimpulkan satu ide dengan jelas karena pikirannya akan loncat dari satu topik ke topik lain tanpa terlihat garis besarnya, impulsif (keuangan, perasaan, tingkah laku), agresif, bicara terlalu cepat, sampai tidak bisa tidur.
Sebenarnya baik dalam keadaan depresi atau manic, pengidap bipolar akan sulit sekali untuk tidur di malam hari. Karena malam hari adalah hari terberat bagi mereka. Saat depresi, sepinya malam akan menjadi aura sempurna untuk menghitung beban yang dipikul. Dan ketika manic, malam akan menjadi waktu yang sempurna untuk mengekspresikan euforia yang melintas. Itu mengapa, salah satu cirinya adalah akan mengalami masalah pada jam tidurnya.
Biasanya di saat manic, mereka akan menghasilkan banyak karya. Di saat manic inilah mereka bisa mencicipi rasanya optimisme dan penuh energi. Beberapa orang terkenal yang berhasil membuat karya terbaik saat episode manic adalah Vincent van Gogh, Ludwig van Beethoven, Jimi Hendrix, dan Axl Rose.
Lalu bagaimana membedakan bipolar disorder dengan depresi atau euphoria biasa? Bukankah ini juga yang sering kita rasakan. Perbedaanya adalah pada pergantian emosi yang begitu cepat. Dan kedua emosi itu akan datang berdampingan. Sehingga sering kali mereka tidak bisa membuat keputusan apapun, bahkan untuk hal-hal sederhana yang dihadapi. Pada level inilah terlihat pergantian emosi telah memengaruhi kualitas hidup mereka.
Dan ketika tekanan sekitar (masalah pekerjaan, keluarga, interaksi sosial, atau asmara) mulai terasa menuntut terlalu banyak, ini akan membawa pengidap bipolar disorder pada gelapnya depresi yang panjang. Bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan hampir sebagian besar hidup mereka diisi dengan depresi.
Selalu berhadapan dengan depresi adalah hal yang meletihkan dalam menjalani hidup yang sudah begitu penuh warna-warni ini. Dan rasa letih ini pun juga akan dirasakan orang-orang di sekitar pengidap bipolar. Bagi yang tidak mengerti, pilihannya akan sangat mudah, menjauhi atau mengurangi interaksi dengan pengidap bipolar. Tapi bagi keluarga atau teman hidup, pilihannya tidak sesederhana itu.
Dari salah satu literatur yang saya kumpulkan, ada disebutkan pengidap bipolar memiliki kecendrungan untuk selalu gagal dalam menjalin asmara. Dan bagi yang sudah menikah, risiko bercerainya bisa 2 kali lebih tinggi dibanding yang tidak memiliki bipolar disorder. Fakta ini ditemukan pada masyarakat Amerika yang memang sudah lebih terbuka mengenai bipolar disorder.
Bagi pengidap bipolar disorder, kegagalan dalam menjalin hubungan adalah salah satu curam yang akan menyeret pada episode depresi yang dalam. Itu mengapa, pengertian akan bipolar disorder juga harus dimiliki oleh pasangan pengidap bipolar. Dengan begitu, pengidap bipolar bisa melalui episode-episode emosinya dengan seorang pasangan yang memang siap untuk membantu menaikkan mood-nya ketika depresi dan menormalkan energinya ketika manic.
Tapi pada kondisi tertentu, pengidap bipolar juga memiliki kecenderungan untuk berbohong. Berbohong untuk menjaga interaksi yang berhasil dibentuk atau berbohong untuk mengondisikan keadaan sesuai harapan. Namun kebohongan menjadi lingkaran setan bagi pengidap bipolar disorder. Sebab ini hanya akan menarik mereka pada ketakutan yang dalam. Hingga pada akhirnya hanya akan membuat mereka masuk dalam perilaku yang kurang bertanggung jawab, royal, impulsif, bahkan promiscuity.
Ini semacam penawar yang mereka pilih secara tidak sadar untuk keluar dari ketakutan akibat pilihan untuk berbohong. Sebab emosi yang terbangun ketika merasakan semua itu bagian dari periode manic-depressive yang sangat cepat berganti. Mereka seolah-olah merasa berhasil keluar dari periode depresi dengan menciptakan impulsifitas sehingga seolah tengah berada di emosi manic yang menyenangkan.
Melihat begitu peliknya perputaran dunia yang dihadapi pengidap bipolar disorder, adalah satu kebutuhan mutlak bagi mereka untuk meminta bantuan dari seorang psikiater. Sebab psikiater akan membantu mereka menemukan di mana titik awal kejatuhan yang kemudian menarik mereka ke dalam lorong gelap bersama ‘tikus-tikus’ pengerat.
Percayalah, bantuan dari ahli akan mampu melepaskan pengidap bipolar disorder dari roller coaster emosi yang memusingkan kepala dan membutakan warna kehidupan. Psikiater akan memberikan serangkaian pertanyaan yang dapat menggambarkan pengidap bipolar disorder telah memasuki tahap bipolar 1, 2, atau mungkin diantaranya. Mereka juga akan memberikan obat untuk membantu otak memproduksi hormon emosi dengan proporsional.
Paul Agusta adalah salah satu contoh nyata dari pengidap bipolar disorder yang pelan-pelan berhasil menjalani hidup dengan normal. Dia terus berusaha untuk bangkit, meski sulit tapi film At the Bottom of Everything menjadi salah satu episode nyata dalam hidupnya bahwa manic dan depresi bisa dikendalikan.
Takut terlalu panjang, toh saya juga bukan ahli yang tepat untuk menggambarkan bipolar disorder secara detail. Pada akhirnya saya hanya ingin menuliskan, bahwa saat ini, saya tengah meletakkan kedua tangan saya di dada. Meminta Sahabat Hidup saya mau membukakan hati seorang yang tengah mengalami roller coaster emosi agar mau mendapat bantuan dari psikiater.
Mungkin dulu tidak disadari, tapi saat saya pertama kali menulis mengenai bipolar disorder, saya bertanya pada psikolog yang saya wawancara apa yang seharusnya saya lakukan untuk menjadi pendamping yang baik pada wahana emosi tersebut. Dan apa yang dibisikkan psikolog itulah yang kemudian saya coba aplikasikan. Sampai pada akhirnya, saya tidak bisa menemaninya kembali.
Menemaninya ketika tiba-tiba Tuhan menghampirinya di sebuah ruang dalam kedinginan malam. “Tuhan ada di sini, menyentuh pundakku. I can feel it Pris. Kenapa dia mau menghampiriku ya.” Tulisnya ketika baru saja berkenal dan tak lama kemudian dia bercerita mengenai ketakutannya. Di saat itulah, saya menangkap dirinya terlalu terbebani oleh ‘kayu bakar’ yang kemudian saya tahu bernama bipolar disorder. Atau saat begitu banyak kegagalan terjadi dalam hitungan detik selama beberapa hari berturut-turut. “Apa ini karma ya? Atau emang aku lagi sial aja.” Pembicaraan singkat yang kemudian merubah segalanya karena periode manic itu datang dengan cepat, tanpa saya ketahui wujudnya.
Maka melalui tulisan ini, seperti dulu ketika waktu mempercayakan saya untuk menjadi penyemangat dan pelukis derai tawa pada wajah murungnya, saya berharap ini akan sedikit menyadarkan sudah waktunya untuk menemukan kejatuhan emosi pertama. Berhenti melelapkan diri pada rasa sakit dan menyisakan rasa sakit pada orang-orang yang ditemui. Sudah waktunya berhenti menaiki wahana emosi ini. Karena kayu bakar itu bukan untuk dibawa terus menerus, tapi untuk diletakkan di tanah pada setiap jalan yang dilalui. Dengan begitu, pundak akan kembali tegak dan membuat mata bisa membentuk garis tegak lurus yang jelas untuk menatap horizon.
Tidak mudah bagi saya untuk menuliskan pesan tulus ini, ada emosi yang ingin menghentak tapi ada juga rasa untuk menghapus kemurungan. Saya bahkan mengajak Sahabat Kehidupan saya untuk merumuskan semua ini. Dan pilihannya adalah ini, pembahasan lengkap mengenai bipolar. Semoga siapa saja yang mengalami ini bisa dengan sadar untuk keluar dari kekelaman rasa. Dan untuk siapa saja yang memiliki atau mengenal orang dengan ciri-ciri bipolar disorder, bisa dengan sadar menemani mereka keluar dari gelapnya gorong-gorong emosi.
Semoga ini juga yang akan ditangkap oleh seseorang yang pernah saya kenal dengan dekat. Bahwa ternyata es krim itu bukan entitas yang ada untuk kemudian dihabiskan dan dilupakan, melainkan realitas yang membantu kita mengartikan rasa, seperti ketulusan rasa.
Seperti dikutip dari goresan http://flyingsolighttothesky.wordpress.com/author/butterflycircle/
Tulisannya bagus. Buat tahu ciri bipolar disorder gimana ya? I always feel like tiba-tiba sangat pesimis lamaaaa gitu gamau ketemu sapa-sapa cuma di kamar aja kuliah langsung pulang menghindari interaksi, setelahnya bisa tiba-tiba sangat optimis ikut kegiatan sana sini, ngobrol pokoknya ketemu orang. Wkwkwk jadi curcol, maaf.
ReplyDelete