Sunday, March 17, 2013

Penderita Bipolar Bukan Orang Gila

Hartono (39) masih pesimistis. Masyarakat sekitar menudingnya tidak waras alias gila. Bahkan sang istri pun menceraikannya. Dia tidak yakin bisa menikah lagi. “Mana ada yang mau menikah dengan saya, setelah tahu saya bipolar?” katanya saat dijumpai dalam seminar “Gangguan Bipolar, Dapat Dikendalikan” di Jakarta.

Pria berputra satu tersebut didiagnosis pertama kali pada usia 13 tahun. “Saya ditemukan overdosis nipam dan pil BK. Tidak bisa ngomong, tidak bisa makan, setelah sadar rocking,” kata Hartono. Dia pun dilarikan ke rumah sakit. Diagnosis pada saat itu adalah skizofrenia. Tiga tahun kemudian atau ketika dia berusia 16 tahun, dia berganti dokter, di Rumah Sakit Dharmajaya. Barulah diketahui dia menderita gangguan bipolar mania.
Ada fase-fase penolakan diri saat dibawa ke rumah sakit. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dia terpaksa difiksasi alias diikat. “Waktu itu seprai, tempat tidur, berantakan semua, setengah mati rasanya,” katanya. Setelah usia 23 tahun, dia baru menerima diri sebagai penyandang bipolar dan dengan sukarela menjalani terapi.
“Masyarakat menganggap saya orang gila, saya kecewa banget. Saya dihakimi. Saya jadi malas bergaul di lingkungan sekitar saya,” katanya. Meski gagal berumah tangga, Hartono beruntung punya orang tua yang menerima dirinya apa adanya serta mendukung kesembuhannya. Dia kini membantu mereka di bisnis mebel. Sekolahnya memang berantakan, meski ketika SD hasil tes intelejensianya mencapai 140, paling tinggi di antara murid lainnya.
Kepada para penyandang bipolar lain dia berpesan, yang terpenting pertama adalah tidak merasa malu. Kalau sudah malu, tidak ke dokter, tidak melapor ke mana-mana. Dia menikah pada 1995, tanpa memberitahukan calon istrinya bahwa dirinya menderita bipolar.
Perceraian tak terhindarkan pada 2003 meski telah menghasilkan seorang putra, yang lahir tepat di malam Natal 1997. Walaupun putranya ikut bersama istri yang kini telah memiliki rumah tangga baru, Hartono mengaku tidak ingin menikah lagi. “Kasihan kan, kalau dia punya bapak tiri juga ibu tiri,” katanya.
Gangguan bipolar atau yang kerap disebut sebagai bipolar disorder, atau manic depression atau bipolar depression adalah penyakit suasana hati. Ciri-cirinya antara lain pergantian antara depresi dengan keadaan euforia atau sangat gembira.
Terdapat lima perasaan (mood) pada gangguan ini, antara lain depresi, campuran, eutimia, manic, dan hipomanik. “Perubahan mood bisa juga terjadi dengan sangat cepat,” kata Kepala Departemen Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), AA Ayu Agung Kusumawardhani.
Orang Terkenal
Banyak orang terkenal yang menderita bipolar disorder, antara lain Vincent van Gogh, Connie Francis, Ernest Hemingway, Florence Nightingale, Sidney Sheldon, Sinead O'Connor, dan Robert Schuman. Penyanyi Sinead O’Connor dalam wawancara dengan BBC mengaku lebih kalem dan tenang setelah dokter mendiagnosisnya menderita bipolar.
"Hal itu menjelaskan banyak soal kemarahan, pertengkaran, percobaan bunuh diri dan bahkan kemarahan ketika sebenarnya sedih. Menjalani perawatan berarti saya punya kesempatan untuk hidup normal,” katanya.
Menurut Handoko Daeng, Ketua Seksi Bipolar, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI), menegaskan kembali bahwa memang orang terkenal seperti Ernest Hemingway dan Vincent van Gogh merupakan penderita bipolar. “Mereka berani berpikir out of the box. Orang bipolar adalah orang dengan risk taking behavior yang tinggi. Mereka bisa melahirkan ide-ide aneh,” katanya.
Banyak keluarga orang terkenal yang kemungkinan menderita bipolar. Misalnya yang kawin-cerai berkali-kali atau memiliki perilaku seksual yang luar biasa. Jika menemui orang yang mudah marah dan tersinggung di suatu kali dan sangat gembira di kali yang lain, masyarakat harus mengetahui hal ini merupakan gangguan kejiwaan yang bisa dikendalikan, dan bukan sifat bawaan.
“Banyak istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena pasangannya bipolar,” kata Handoko. Bahaya dari penderita bipolar bila tidak terdeteksi, tidak hanya kemungkinan yang bersangkutan bunuh diri, tetapi juga kualitas hidup keluarga dan lingkungannya. Karena ada penderita bipolar yang senang berbelanja hingga menghabiskan puluhan juta rupiah, sehingga keluarganya harus membayar tagihan kartu kreditnya yang membengkak.
Ada juga yang memiliki cicilan lima apartemen. Kasus lain yang sedang ditangani Tuti Wahmurti, Perwakilan Majelis Kehormatan Profesi PDSKJI, penderitanya suka berderma dan suka memberi donasi ke mana-mana hingga keluarganya kewalahan. Bahkan, ada penderita yang pernah membawa perhiasan serta surat tanah lalu memberikannya kepada sang dokter, yang tentu saja menyimpan dan mengembalikannya kepada keluarga.
Deteksi dini gangguan bipolar dapat dilakuan dengan menggunakan The Mood Disorder Questionaire (MDQ).
Gejala-gejala pada pasien antara lain perasaan gembira yang lebih dari biasanya, sangat mudah terganggu, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, merasa tidak memerlukan waktu untuk tidur, banyak bicara, atau berbicara lebih cepat dari biasanya, energetik dan sangat aktif, memikirkan banyak hal sekaligus, konsentrasi mudah teralih, memiliki masalah pada lingkungan sosial dan pekerjaan, lebih tertarik pada seksualitas (tidak semua), dan memiliki perilaku yang berisiko dan boros.
Jika dapat dideteksi secara dini, penderita bipolar bisa hidup normal seperti orang biasa. Apalagi obat-obatan kini tersedia tidak saja melalui Jaminan Kesehatan Masayarakat (Jamkesmas) dengan harga yang sangat murah, Asuransi Kesehatan (Askes) pun juga ada.
Bahkan, sebuah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat bipolar mempersiapkan tim pemasaran yang mengampanyekan kartu khusus keanggotaan agar masyarakat bisa membeli obat dengan harga lebih murah ketimbang di apotek.

Sumber : Sinar Harapan http://www.shnews.co
Natalia Santi

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Saya divonis bipolar tapi keluarga saya hancur berantakan dan saya sekarang sebatangkara tanpa penghasilan. Apa yg harus saya lakukan?

    ReplyDelete