Sunday, March 17, 2013

Awas, Gangguan Bipolar Intai Kelas Menengah ke Atas

Pemicunya Stress dan Depresi yang Berlebihan

Tuntutan dan tekanan hidup yang begitu tinggi, terutama pada masyarakat perkotaan memicu rasa frustasi dan depresi yang begitu hebat. 

Mereka yang tidak mampu mengatasinya, penyakit kejiwaan seperti gangguan bipolar mudah sekali hinggap dan merusak tatanan gaya hidup positif. 

Demikian yang dikemukakan oleh Prof Dr Tuti Wahmurti A Sapiie dalam Seminar Media Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan? di Jakarta.

"Gangguan bipolar dicetus oleh permasalahan hidup yang tidak bisa diatasi oleh penderitanya. Tidak cukup hanya obat sebagai medium pengobatan, tapi harus ada penanganan secara menyeluruh dalam mengembalikan kesembuhan penderitanya," jelas Tuti dari Majelis Kehormatan Profesi PDSKJI. 

Ia menjelaskan, kasus bipolar banyak ditemukan pada orang-orang yang tingkat pendidikan dan ekonominya tinggi. Namun bukan berarti orang-orang yang berada di kelas bawah terhindar dari gangguan ini.

“Hanya saja kebanyakan orang kelas bawah lebih mampu menanganinya dengan bersikap lebih pasrah dan bersabar. Berbeda dengan orang menengah atas yang cenderung tidak sabar dan menginginkan perubahan cepat. Ini justru menyulitkan mereka," tambah dr Ayu Agung Kusumawardhani SpKJ, Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.

Gangguan bipolar sendiri, lanjut dia, merupakan gangguan jiwa yang bersifat berulang dalam rentang waktu tertentu dan ditandai dengan gejala-gejala perubahan mood. Gangguan ini biasanya berlangsung selama seumur hidup. 

Ada 5 mood state pada gangguan ini, yaitu:
1. Depresi, jika merasa sangat sedih, menganggap dirinya negatif dan menarik diri dari lingkungan.
2. Eutimia, jika suasana hati dalam keadaan normal.
3. Manik atau mania, jika merasa sangat senang, bersemangat sampai ingin melakukan banyak aktifitas dan melakukan hal tanpa berpikir panjang.
4. Hipomanik atau hipomania, jika merasa cukup senang namun masih bisa mengontrol keinginan.
5. Campuran, jika kondisi depresi bercampur dengan mania.

"Perubahan mood tersebut bisa juga terjadi dengan sangat cepat pada penderita gangguan ini," jelas Ayu. 

Penyebabnya Multifaktor
Penyebab terjadinya gangguan ini meliputi faktor genetik, biologi otak, serta peristiwa-peristiwa kehidupan dan keadaan lingkungan yang menimbulkan stres (stresor psikososial). 

Faktor genetik, lanjut Ayu, menyebabkan seseorang rentan, dan bila yang bersangkutan mengalami stres psikososial yang tidak bisa ditanggulangi dan atasi, maka terjadilah gangguan bipolar.

"Stres psikososial menyebabkan perubahan-perubahan dalam sistem biologik otak manusia sebagai upaya adaptasi yang diawali oleh perubahan sistem hormonal yang kemudian memengaruhi zat kimia alami otak, zat-zat penting lainnya dalam otak, dan sel-sel saraf otak," sambungnya.

Gen berfungsi sebagai regulator yang akan mengatur agar keseimbangan sistem dalam tubuh, termasuk otak terjaga dengan baik. 

"Namun pada orang yang memiliki gen lemah terhadap gangguan bipolar, keseimbangan dalam sistem dopaminergik, serotonergik, dan noradrenergik tidak bisa dijaga. Sehingga terjadi kekacauan dalam sistem ini dan terjadilah gejala-gejala gangguan bipolar," papar Tuti.

Penderita, lanjut dia, cenderung memburuk bila tidak segera ditangani dan dikendalikan. Penundaan dalam mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat akan mengakibatkan penderita mengalami depresi berat. 

Perilaku Menyimpang
Tak hanya itu, penderita juga dapat menunjukkan perilaku yang dapat membahayakan dirinya sendiri, semisal melakukan percobaan bunuh diri, tidak mau makan atau tidur sehingga muncul kelelahan yang sangat hebat. 

“Ia juga dapat melakukan tindakan yang membahayakan orang lain misalnya, ia mempercayai bahwa dunia sebentar lagi akan segera hancur, sangat suram, dan tidak ada harapan sehingga muncul dari pikirannya untuk membunuh anaknya agar terlepas dari kesengsaraan dunia,” imbuh Tuti. 

Atau pada mood state episod mania atau manik, penderita dapat ngebut di jalan raya sehingga membahayakan dirinya dan orang lain, memiliki gairah seksual berlebih yang menyebabkan ia melakukan hubungan seks tidak aman dengan berbagai risiko seperti AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Untuk melakukan diagnosis terhadap gangguan bipolar tidaklah mudah. Terkadang gejala yang bervariasi dan tumpang tindih menyebabkan hambatan dan misdiagnosis, misalnya para penderita gangguan bipolar ini seringkali didiagnosis sebagai penderita psychophrenia

"Masyarakat harus jeli dalam memahami gangguan bipolar, dan bila mencurigai adanya gejala, segera lakukan deteksi dini dan berkonsultasi dengan psikiater," jelas dr Handoko Daeng, SpKJ, Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 

"Keterlambatan dan misdiagnosis akan memberikan dampak fatal seperti meningkatnya risiko bunuh diri, perilaku yang merugikan, atau hilangnya pekerjaan dan resisten terhadap terapi," imbuhnya.


http://www.beritasatu.com
sumber: Yanuar Rahman/Beritasatu

No comments:

Post a Comment