Sunday, June 15, 2014

Kaitan Antara Trauma Masa Lalu Dengan Kesehatan Jiwa


Masa lalu itu penting. Kita dibentuk oleh masa lalu kita. Tentu saja, kita tetap punya kebebasan. Tetapi, kebebasan itu pun juga dibatasi oleh masa lalu kita.
Salah satu bagian masa lalu yang amat penting untuk disadari adalah tentang kehidupan orang tua kita. Sedari kecil, kita membangun hubungan dengan orang tua kita. Mereka, tentu saja, bukan manusia sempurna, tetapi memiliki segala bentuk kekurangan. Kekurangan itu pula yang membentuk kita sebagai manusia, sekaligus cara kita berpikir, merasa, dan melihat dunia, ketika kita dewasa, termasuk segala ketakutan dalam hidup kita.

Di dalam bukunya yang berjudul Trauma, Angst und Liebe: Unterwegs zu gesunder Eigenständigkeit. Wie Aufstellungen dabei helfen (2013), Franz Ruppert, Professor Psikologi sekaligus praktisi psikoloanalitik di München, berpendapat, bahwa orang tua juga bisa mewarisi trauma yang mereka punya kepada anaknya. Jadi, orang tua tidak hanya mewariskan ciri fisik, tetapi juga ciri psikologis kepada anaknya. Ciri psikologis itu bisa berupa karakter diri, tetapi juga trauma.

Trauma lintas generasi

Trauma ditandai dengan kegelisahan batin. Orang tak bisa merasa tenang, karena ia hidup penuh dengan ketakutan. Ia takut dengan masa depan, dan berbagai ketidakpastian hidup lainnya. Ruppert mencoba memetakan trauma manusia, terutama dalam kaitannya dengan hubungan orang dengan orang tuanya.
Akar dari trauma adalah rusaknya hubungan antara manusia. Dampaknya adalah ketidakbahagian hidup.

Orang sulit menjalankan tugas sehari-hari. Hidupnya terasa tanpa tujuan dan tanpa makna.
Akar dari perasaan-perasaan ini adalah hubungan dengan orang tua, terutama hubungan dengan ibu. Ibu yang memiliki trauma dalam dirinya akan menularkan trauma itu ke anaknya. Inilah yang disebut sebagai trauma antar generasi. Trauma itu ditularkan melalui pola hubungan antara ibu dan anaknya.
Kemungkinan besar, si ibu juga mewarisi trauma dari orang tuanya, lalu ia meneruskannya ke anaknya di kemudian hari. Si anak, walaupun masih muda, sudah merasa depresi dan tidak memiliki tujuan hidup. Ia masih muda, tetapi sudah hidup layaknya orang yang mengalami begitu banyak kekerasan. Dari pola ini, kemudian berkembang beragam bentuk gangguan psikologis lainnya, mulai dari kecemasan, depresi bahkan sampai schizophrenia.

Namun, trauma ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Manusia bisa menyadarinya, kemudian melampauinya. Yang diperlukan adalah pengetahuan mendalam tentang apa itu trauma. Pengetahuan yang setengah-setengah tidak akan membantu, malah justru akan memperbesar trauma itu sendiri.

Jiwa Manusia

Trauma terjadi pada jiwa manusia. Ia bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka jiwa. Ketika badan sakit, ada banyak kemungkinan penyebab. Salah satu yang paling sering ditemukan, menurut Ruppert, adalah penyakit tubuh yang berakar pada trauma. Ini yang biasa disebut sebagai psikosomatik, yakni penyakit tubuh yang akarnya pada situasi jiwa.

Di dalam filsafat dan psikoanalisis, jiwa adalah bagian dari manusia yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Pertama, jiwa adalah pintu manusia menuju kenyataan. Tanpa jiwa, tubuh tidak akan berarti apa-apa. Manusia tidak bisa terhubung dengan kenyataan di luar dirinya.

Peran kedua jiwa adalah melakukan seleksi terhadap segala bentuk pengetahuan yang masuk ke dalam kepala kita. Kenyataan itu amat rumit. Sebagai manusia, kita tidak bisa menerima semua informasi yang ada. Disinilah peran jiwa, yakni sebagai penyeleksi segala bentuk informasi yang masuk ke kepala kita, sehingga bisa diolah.

Jiwa juga bukan sesuatu yang statik. Ia kreatif dan fleksibel. Ia memungkinkan manusia melampaui masalah-masalahnya, dan juga melampaui penderitaan-penderitaannya. Ia membuat manusia tidak menjadi budak dari kenyataan.
Karena fleksibel dan kreatif, jiwa juga membantu manusia untuk menjaga kelestarian dirinya. Ia mendorong manusia untuk jatuh cinta dan berkembang biak. Pria dan wanita, menurut Ruppert, memiliki jenis jiwa yang berbeda. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mengembangkan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Jiwa memungkinkan manusia untuk memahami dunianya, berpikir, mengingat dan membentuk kesadaran dirinya. Jiwa menyeleksi sekaligus mengolah informasi yang kita tangkap dari dunia. Jiwa juga menuntun tindakan kita sehari-hari. Jiwa adalah elemen utama dalam diri manusia yang memungkinkan bagian-bagian biologisnya (organ tubuhnya) bergerak dan berkembang.

Trauma dan Jiwa

Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Ketika orang mengalami peristiwa yang traumatis, misalnya pengalaman kekerasan, maka hubungan antara tubuh dan jiwanya akan rusak. Ketika ini terjadi, orang akan mengalami rasa cemas, takut dan depresi yang membuatnya tak bisa merasakan kebahagiaan. Pengalaman kekerasan ini muncul sebagai akibat dari rusaknya hubungan dengan orang lain.
Banyak orang mengalami sakit berulang. Akarnya kerap bukan melulu fisik, tetapi juga aspek jiwanya. Maka, obat fisik tidak akan cukup. Trauma harus disadari, lalu coba untuk dilampaui.
Dalam arti ini, kesehatan manusia tidak pernah hanya merupakan kesehatan tubuh semata, tetapi juga kesehatan jiwa. Tepatnya, kesehatan adalah hubungan yang harmonis antara tubuh dan jiwa, karena orang bisa melampaui trauma-trauma yang ia alami. Trauma tidak bisa dihindari, karena hubungan dengan orang lain tidak bisa selalu baik. Namun, trauma bisa disadari dan kemudian dilampaui.

Jiwa dan Otak

Jiwa manusia bukanlah sesuatu yang mengambang secara metafisis, melainkan selalu terkait dengan sisi biologis manusia. Organ yang paling erat hubungannya dengan jiwa adalah otak. Berpijak pada pelbagai penelitian yang ada, Ruppert membagi tiga jenis otak manusia, atau tiga perkembangan otak manusia. Yang pertama adalah otak reptil, atau das Reptiliengehirn yang berfungsi secara dasariah untuk menjaga keberlangsungan diri manusia, misalnya dengan menyerang musuh untuk mempertahankan diri, dan sifat instingtif.

Bagian kedua adalah otak mamalia. Fungsinya adalah untuk merasa dan mencintai. Bagian ini juga memungkinkan orang untuk merasakan keterkaitan dengan satu kelompok, atau keluarga. Bagian ketiga adalah bagian otak kanan. Bagian ini, menurut Ruppert, memungkinkan manusia melakukan analisis sebab akibat atas berbagai kejadian di dunia, juga merumuskan ide dan membentuk kesadaran akan jati dirinya 


Jiwa manusia memiliki tiga keadaan dasar, yakni keadaan senang, penuh tekanan dan keadaan traumatik. Ketika orang merasa senang, dunia seolah terbuka untuknya. Dia siap untuk merengkuh beragam kemungkinan yang ada. Kecemasan jauh dari hidupnya.
Ketika orang merasa tertekan, dunianya seolah tertutup. Ia selalu terjaga dan cemas. Ia tidak bisa tenang. Ia selalu waspada, andaikan nasib buruk menimpanya.
Ketika orang merasa tertekan, ia menjalani hidupnya dengan berat. Ia butuh banyak sekali energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Tertekan adalah dampak langsung dari trauma yang terpendam. Di dalam keadaan ini, orang akan gampang lelah, walaupun hanya melakukan pekerjaan yang ringan.
Keadaan ketiga adalah keadaan trauma, yakni ketika orang mengalami peristiwa yang amat menyakitkan dirinya. Jejak peristiwa itu masih terasa, walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu. Di dalam keadaan ini, orang akan melihat dunia secara gelap. Kenyataan menjadi begitu menyakitkan, walaupun ia hanya menjalani kegiatan sehari-hari yang biasa.

Ikatan dengan Ibu

Jiwa manusia berkembang dari sejak orang masih bayi. Faktor penting pertama dari perkembangan jiwa adalah hubungan dengan ibu. Anak yang baru lahir ke dunia melihat dirinya sama dengan ibunya. Ia merasa, bahwa seluruh dunia adalah ibunya sendiri. Ini terjadi secara tidak sadar.
Dari ikatan dengan ibu ini, emosi lalu mulai berkembang. Pengaruh ibu amatlah besar pada anaknya. Secara pasif, anak menerima pengaruh tersebut. Namun, secara aktif dan kreatif, anak berusaha menggapi ibunya, guna memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Dasar alamiah dari hubungan ibu dan anak adalah hubungan cinta. Jika hubungan cinta ini ada, maka anak akan berkembang sebagai manusia yang sehat. Jika tidak, ia akan mengalami tekanan dan trauma dalam hidupnya. Keadaan jiwa yang tertekan di dalam diri anak, yang terbawa sampai dewasa, adalah dampak dari rusaknya hubungan dekat dengan ibu.

Ibu yang mengalami trauma biasanya juga bersikap tidak pas pada anaknya. Ini menganggu hubungan cinta, yang seharusnya terjadi di antara mereka. Trauma tersebut akhirnya menular ke anaknya. Ketika ini terjadi, dunia anak tersebut akhirnya runtuh.
Ayah juga berperan besar. Supaya anak memiliki kemandirian, ia juga harus memiliki jarak dengan ibunya. Ia butuh pengalihan, supaya ia tidak terlalu terpaku pada ibunya. Disinilah peran ayah, menurut Ruppert.

Kebutuhan Jiwa
Jiwa yang sehat akan menghasilkan kepribadian yang sehat, yang bahagia dan bebas. Hubungan dengan orang tua, terutama ibu, berperan amat besar dalam hal ini. Untuk bisa menjadi pribadi yang sehat, orang harus mendapatkan ini dari hubungannya dengan orang tua; perlindungan, kepastian, cinta, merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan kemandirian. Semuanya berakar pada dua kebutuhan mendasar jiwa manusia, yakni kemandirian dan hubungan dengan orang lain.

Jadi, perkembangan jiwa manusia tergantung pada tegangan antara kemandirian, dan hubungan dengan orang lain. Krisis jiwa manusia terjadi, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi. Jika ditelaah lebih dalam, menurut Ruppert, kebutuhan akan hubungan dengan orang lain dapat dipetakan ke dalam unsur-unsur berikut: mendapatkan asupan gizi (dengan orang tua), merasa hangat, kontak fisik, dilihat, diperhatikan, dimengerti, didukung, menjadi bagian dan diterima sebagai manusia.

Ketika ini tidak didapatkan, orang lalu hidup dalam tekanan. Ketika ia menjalin hubungan dengan kekasihnya, ia berharap, kekasihnya akan memenuhi kebutuhan ini. Akan tetapi, hubungan dengan kekasih berbeda dengan hubungan antara ibu dan anak. Maka, kekecewaan berikutnya akan timbul, karena pasangan tidak bisa memenuhi kebutuhan jiwanya.

Kebutuhan akan kemandirian, menurut Ruppert, dapat dipetakan sebagai berikut: persepsi mandiri, berpikir mandiri, merasa sendiri, menjadi mandiri, menemukan kedamaian dalam diri, membuat sesuatu sendiri, menjadi merdeka, merasa bebas dan membuat keputusan sendiri. Sekali lagi haruslah ditekankan, bahwa peran ibu amatlah besar di dalam memenuhi kebutuhan ini pada diri setiap orang di awal-awal masa hidupnya. Kegagalan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini juga bisa menciptakan trauma sendiri bagi anak.
Trauma adalah bekas dari peristiwa yang mengancam jiwa. Trauma itu meninggalkan rasa sakit, dan orang harus terus menekannya, supaya orang bisa hidup. Ketika orang mengalami trauma, jiwanya terpecah. Dunia seolah menjadi gelap, dan energi habis, karena orang harus terus menekan trauma yang ia rasakan.

Bagian Jiwa Manusia
Pada titik yang parah, trauma membuat perasaan orang membeku. Ia tidak bisa lagi merasa apapun. Orang lalu lari ke dalam pikirannya, dan meninggalkan kenyataan yang ada. Ia menciptakan dunia sendiri di dalam kepalanya, dan bahkan identitas dirinya terpecah.
Ketika mengalami trauma, menurut Ruppert, jiwa manusia terpecah menjadi tiga. Bagian yang sehat tetap ada. Trauma tidak pernah total menghancurkan jiwa manusia. Lalu, ada bagian yang berisi ilusi yang diciptakan manusia untuk mempertahankan kesehatan jiwanya, dan ada bagian yang berisi trauma itu sendiri.
Trauma pertama yang mungkin dialami anak adalah dalam hubungannya dengan ibunya. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, kerap kali ibu juga mengalami trauma yang belum terselesaikan. Ketika ibu yang trauma mengasuh anak, trauma tersebut akan mempengaruhi hubungannya dengan anaknya. Akhirnya, anaknya pun akan mengalami trauma juga yang disebut Ruppert sebagai trauma dalam hubungan
.
Ada tiga bentuk trauma yang mungkin dialami seorang ibu. Yang pertama adalah trauma kekerasan, mungkin dari masa kecil atau masa dewasanya. Yang kedua adalah trauma kehilangan, mungkin karena kehilangan anggota keluarga tercinta. Yang ketiga adalah krisis jati diri yang kerap muncul, ketika si ibu kehilangan pegangan nilai dalam hidupnya.

Di dalam trauma hubungan, ada beberapa ciri yang bisa diperhatikan. Yang pertama adalah keterputusan emosional, yakni si ibu tidak mampu menjalin ikatan emosi dengan bayinya. Yang kedua adalah tidak adanya rasa hormat terhadap keberadaan anaknya. Si ibu mengabaikan anaknya, atau bahkan melakukan kekerasan langsung terhadap anaknya.
Yang ketiga adalah hubungan yang tidak ajeg. Suatu saat, ia bisa begitu baik pada anaknya. Namun, pada saat lain, ia bisa berubah total menjadi sosok yang penuh dengan kemarahan dan kebencian. Anak yang menjadi korban trauma di masa lalu, biasanya karena korban kekerasan, cenderung akan menjadi pelaku di masa datang.

Menuju Kebebasan dan Kemandirian
Anak yang sehat biasanya penuh dengan energi. Ia mampu mencari kebutuhannya sendiri, misalnya dengan meminta secara aktif kepada orang tua, atau berusaha mencari sendiri. Ia kreatif, terlihat bahagia, dan terbuka pada segala bentuk pengetahuan tentang dunia.
Sebaliknya, anak yang penuh dengan trauma dan tekanan, biasanya karena hubungan yang jelek dengan orang tuanya, kerap murung. Ia merasa tak dicintai. Ia merasa diabaikan, kesepian, takut dan memiliki kemarahan yang ditekan. Ketika ia dewasa, ia terus hidup dalam emosi negatif, dan seolah tak berdaya, serta tak mampu menemukan jalan keluar dari penderitaannya.
Untuk melawan trauma, biasanya orang membangun ilusi di dalam kepalanya. Hubungannya yang jelek dengan orang tuanya dilupakan, lalu ia bisa membangun gambaran baru yang sama sekali lain dari kenyataan yang ada. Ia menipu dirinya, supaya bisa tetap hidup. Ia bahkan bisa memuja ibunya yang di masa lalu kerap melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Namun, ilusi semacam itu butuh amat banyak energi. Pada titik yang parah, orang tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Ia merasa terasing dengan dirinya sendiri. Hidupnya seolah tanpa makna dan tujuan. Ini terjadi, karena ia mewarisi trauma dari orang tuanya. Dampaknya beragam, yakni kecemasan akut, depresi dan kecanduan pada narkotika.

Lalu, bagaimana cara kita melampaui trauma? Ruppert menegaskan, bahwa trauma tidak pernah mutlak. Bagian diri yang sehat selalu ada. Maka, terapi trauma adalah upaya untuk memperkuat sekaligus memperbesar sisi sehat tersebut. Ketika sisi sehat menguat, maka sisi traumatis otomatis akan mengecil, walaupun tidak akan pernah hilang.
Ilusi yang kita bangun untuk bertahan hidup melawan trauma juga perlu dilampaui, kata Ruppert. Ilusi itu tidak membantu, karena hanya menghabiskan energi kita. Energi tersebut seharusnya diarahkan untuk mengembangkan sisi sehat yang masih ada. Jika sisi sehat dalam diri kita ini berkembang, maka kita akan merasakan kebebasan dan kemandirian dalam hati. Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.


1 comment:

  1. menurut PPDGJ, bipolar merupakan salah satu gangguan mood/afektif di mana terdapat peningkatan afek disertai penambahan energi dan akrivitas, da di waktu lain terdapat penurunan afek...

    ReplyDelete