Wednesday, April 24, 2013

Dibanding Skizofrenia, Pasien Gangguan Bipolar Lebih Berisiko Bunuh Diri

Perubahan suasana hati yang ekstrim bisa berakibat serius. Jika mengalami atau mengetahui teman atau kenalan yang suasana hatinya berubah dari sangat senang menjadi sangat sedih, ada kemungkinan ia menderita gangguan bipolar.

Pada gangguan bipolar ini, pasien sering merasa sangat senang sampai ingin melakukan banyak hal dan sulit mengontrol keinginan.


Namun saat merasa sedih, pasien sering menarik diri, menyalahkan diri sendiri dan bahkan memiliki kecenderungan bunuh diri.

Bahkan, angka kematian akibat bunuh diri yang disebabkan gangguan bipolar lebih tinggi dibandingkan angka kematian bunuh diri dalam populasi umum.

"Angka bunuh diri yang diakibatkan gangguan bipolar 20 kali lebih tinggi dibanding angka bunuh diri dalam populasi umum tanpa gangguan bipolar, yaitu 21,7% dibanding 1%. Angkanya sama pada laki-laki maupun perempuan," kata dr Ayi Agung Kusumawardhani, SpKJ(K), kepala Departemen Psikiatri RSCM.

Menurut dr Agung, depresi yang dialami saat remaja memiliki kemungkinan 20-40% berkembang menjadi gangguan bipolar.

Penderita gangguan bipolar 2-3 kali lebih berisiko melakukan bunuh diri dibanding penderita skizofrenia. Sebanyak 10-20% penderita gangguan bipolar meninggal karena bunuh diri, dan sebanyak 30% pernah mencoba melakukan bunuh diri.

Selain itu, riwayat keluarga yang pernah mengalami gangguan bipolar juga meningkatkan risiko terkena gangguan bipolar sebesar 60%. Pengaruh genetik juga menyumbang kerentanan mengalami gangguan bipolar sebesar 79%.

Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya kasus gangguan bipolar yang salah didiagnosis dengan skizofrenia. Sebabnya, pasien bipolar memiliki kecenderungan berhalusinasi dan mengalami gangguan kecemasan seperti halnya pasien skizofrenia. Akhirnya, pasien gangguan bipolar banyak yang mendapat penanganan untuk mengatasi skizofrenia, padahal pengobatannya berbeda.

"Pada pasien skizofrenia dan depresi, biasanya diberikan obat antidepresan sudah cukup membantu. Namun pada pasien gangguan bipolar, obat ini kurang efektif dan dapat menimbulkan efek samping seperti tremor dan kekakuan otot. Untuk pasien gangguan bipolar, sebaiknya diberi obat mood stabilizer untuk menenangkan perubahan mood yang ekstrim," kata dr Agung.

Setelah pasien gangguan bipolar tenang, baru program terapi untuk memberikan pemahaman mengenai gejala penyakit dan cara mengatasi kecemasan dapat diberikan.

Jika pasien sudah dapat mempelajari kemampuan ini, biasanya pasien lebih terampil dalam menghadapi perubahan mood yang terjadi dan penggunaan obat dapat dihentikan. Namun apabila tidak diobati, gangguan ini bisa bertahan seumur hidup

http://health.detik.com
Putro Agus Harnowo - detikHealth

No comments:

Post a Comment