Sunday, March 31, 2013

Menghapus Trauma Buruk, Bijaksanakah?

Trauma akibat ingatan buruk sering melekat betul, bertahun-tahun, bahkan tak jarang bersifat merusak.  Salah satu nama fenomenal ialah Nancy Venable Raine, yang pada tahun 1985, diperkosa dengan brutal. Empat tahun usai kejadian ia terbungkam, diam. 

Setelah mengatasi trauma mental, baru 9 tahun kemudian ia menuliskan pengalamannya di The New York Review Magazine,dan 4 tahun kemudian membaginya lagi pada publik dalam sebuah buku After Silence: Rape and My Journey Back.  Isinya, menerangkan perjuangannya menahan rasa malu, bersalah, dan marah setelah diperkosa.

Namun kini, paling tidak ada kabar baru yang bisa dijadikan alternatif. Sebuah penemuan memungkinan membawa terapi lebih efektif bagi pasien dengan gangguan emosi akibat trauma pengalaman tertentu.

Dalam riset terdahulu terhadap hewan menunjukkan memori ketakutan sangat rentang untuk dimunculkan ketika pasien mengenang, saat kenangan di "konsolidasi ulang" dalam otak.

Penelitian menyatakan, penghambat-beta, keluarga obat-obatan yang umumnya digunakan untuk menerapi tekanan darah tinggi, boleh jadi memiliki efek menyela proses konsolidasi ulang tersebut.

Kini studi dengan uji klinis melibatkan manusia memberi dukungan kuat terhadap teori tersebut. Sebua tim peneliti Belanda, menciptakan pikiran menakutkan buatan dengan memunculkan gambar-gambar laba-laba menyeramkan dengan kejutan listrik ringan dipergelangan tangan 60 partisipan.

Ketika relawan diperlihatkan gambar laba-laba tersebut 24 jam kemudian, respon mereka--menandakan ketakutan--terlihat dari pengetesan reaksi kedipan dan otot mata.

Kemudian setiap relawan mendapat obat propranolol penghambat-beta sebelum melakukan uji coba ulang membangkitkan memori ketakutan, untuk mengetahui adanya pengurangan respon.

Setelah pemberian obat, relawan tampak lebih sedikit terganggu dengan gambar laba-laba. Efek terlihat permanen, setelah gambar laba-laba menakutkan dalam eksperimen tidak lagi menimbulkan ancaman kepada relawan.

Penelitian yang dilaporkan dalam Jurnlan Nature Neuroscience itu meningkatkan kemungkinan pendekatan baru untuk mengatasi masalah emosional dan sindrom strees paska-traumatik

Pemimpin peneliti, Professor Merel Kindt dan para koleganya dari Universitas Amsterdam menulis, "Jutaan orang menderita akibat ketakstabilan mental dan berulangkali timbul ketakutan, bahkan setelah sukses dalam terapi," 

"Temuan kami mungkin memberi implikasi penting untuk memahami dan menerapi memori tidak menyenangkan yang bertahan pada individu dengan ketidakstabilan mental," bunyi tulisan tersebut lebih lanjut.

Namun  Daniel Sokol, doktor sekaligus pendidik di Etika Medis di St George, Universitas London menanggapi dengan hati-hati penelitian tersebut.

"Menyingkirkan kenangan buruk tidak seperti menghilangkan gatal, atau tahi lalat. Itu akan merubah identitas pribadi kita sebab siapa kita sangat berkaitan erat dengan ingatan. Penelitian itu mungkin bermanfaat di beberapa kasus, namun sebelum menghapus total ingatan, kita harus berkaca pada efek yang terjadi pada pribadi tersebut, masyarakat, dan rasa kemanusiaan.

Sementara menurut John Harris, guru besar Bioetik di Universitas Manchester berkomentar, "Sangat nyata jika itu bergantung pada tiap individu, apakah ia akan menerima resiko kemungkinan efek terjadi atau tidak, termasuk keterputusan psikologis dari menghapus ingatan buruk.

"Kompleksitas menarik ialah, kemungkinan jika para korban, katakanlah kekerasan, berharap menghapus rasa sakit di ingatan, itu pun mungkin menghapus kemampuan memberi bukti yang melawan penyerangnya,"lanjut John memberikan penilaiannya.

"Misal, kriminal dan saksi mata dalam kejahatan--dalam gestur alami tubuh dengan ingatan menyakitkan yang  dihapus, akan membuat diri mereka tidak mampu memberi bukti jika kejahatan telah terjadi," katanya./telegraph/itz


http://www.republika.co.id

No comments:

Post a Comment