Thursday, April 25, 2013

Stop Mata Rantai Kekerasan, Dimulai Dari Anda


Orang tua banyak yang beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

Salah satu bentuk kekerasan pada yang akhir-akhir ini paling sering diberitakan media massa adalah kekerasan seksual. Selama Januari hingga Februari 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima 48 laporan kekerasan seksual pada anak, dari total 80 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan. Tahun 2012, sekitar 48 persen dari 2.637 kasus yang ditangani di Komnas PA adalah kasus kekerasan seksual pada anak.

Mereka menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan ini karena hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya orang dekat korban. Tak sedikit pula pelakunya orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orangtua dan guru. Nyaris seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan, tak semua kekerasan seksual pada anak dilakukan orang dewasa yang memiliki orientasi seksual pada anak. Namun, itu juga bisa terjadi dengan pelakunya orang dewasa normal. Reza menyebutkan, kedua macam orang itu bisa digolongkan pedofilia selama melakukan hubungan seksual dengan anak. Tipe pertama adalah pedofilia eksklusif, yaitu hanya memiliki ketertarikan pada anak. Tipe kedua adalah pedofilia fakultatif yang memiliki orientasi heteroseksual pada orang dewasa, tetapi tidak menemukan penyalurannya sehingga memilih anak sebagai substitusi.

Reza menyebutkan, kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman sehingga korban tak berdaya itu disebut molester. Kondisi itu menyebabkan korban terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, namun tak sedikit pula pelaku kekerasan seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi psikologi. Anak ditipu daya sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan.

Awalnya terminologi tindak kekerasan terhadap anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey melaporkan kasus berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome.

Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry menyebut kasus penelentaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain.

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :
  • Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua.

  • Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.

  • Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi.

  • Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.

  • Disamping itu, faktor penyebab Kekerasan pada Anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006).
Unicef (1986) mengemukakan ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak sendiri. Dua faktor tersebut antara lain;
  • Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian.

  • Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
  • Dampak kekerasan fisik. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;

  • Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

  • Dampak kekerasan seksual. Diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll.

  • Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

  • Dampak kekerasan terhadap anak lainnya adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Miris…Ternyata sebagian orang tua masih percaya pada konsep kuno tentang cara mendidik anak dengan kekerasan. Tidak ada alasan untuk percaya pada konsep tersebut. Kenapa? Berikut adalah beberapa alasan kenapa Anda tak boleh melakukan kekerasan pada anak :
  • Agresif. Kekerasan pada anak membuat anak bersikap agresif. Ketika anda menekan anak, tanpa sadar Anda sedang menggambarkan sisi brutal dari kepribadian Anda. Itulah yang anak-anak tiru dari sosok orang tua mereka.

  • Keras kepala. Kekerasan pada anak bukan metode yang tepat untuk menerapkan kedisiplinan. Mereka akan menjadi lebih keras kepala dan nakal. Hal ini dikarenakan sikap Anda pada anak.

  • Jarak. Hukuman fisik membuat anak merasa tidak disayang oleh orang tua mereka. Kekerasan yang Anda lakukan bisa menumbuhkan jarak antara orang tua dan anak. Alih-alih mengembangkan hubungan persahabatan, mereka malah memiliki perasaan bermusuhan pada Anda. Mereka juga menjadi ragu untuk berbagi masalah mereka pada Anda.

  • Introvert. Kebiasaan memukul anak dapat mengubah perilakunya dalam bergaul. Hukuman fisik membuat anak jadi introvert dan tidak pintar bergaul.
Sayangnya orang tua banyak yang beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Sayangnya bagi kebanyakan orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

MENGERIKAN…Hanya itu kata yang mungkin pas untuk menggambarkan bagaimana merusaknya dampak kekerasan yang dilakukan terhadap anak-anak. Untuk mengatasi Kekerasan pada anak diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya, memerlukan proses pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak-anak, berusaha menegakkan undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang dewasa dan membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak. Percayalah, kekerasan tidak dapat mengubah anak jadi baik. Sebaliknya, anak akan berubah menjadi lebih agresif dan bermusuhan dengan Anda. Kedisiplinan tidak diajarkan lewat pukulan tetapi kasih sayang.

Ahmad Zaini
Journalist / Broadcaster / Profesional Trainer/ Broadcaster Expert at Broadcast Indonesia.
http://edukasi.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment