Thursday, October 9, 2014

Memaafkan Diri Sendiri (Sebuah Catatan Tentang Memberi Pengampunan)

Bagaimana  mungkin seseorang  yang tengah berada di atas kapal yang sebentar lagi berlayar untuk pulang, dengan seluruh pemandangan laut yang disukainya malah teringat cermin? Ya, saya teringat cermin. Barangkali saya sedang ingin berkaca sekarang. Apa yang akan saya perhatikan? Ooh.. wajah saya, sudah saya pastikan telah menghitam kemerahan, sudah gabungan dari terbakar matahari dan memang nampak begitulah setiap saya sedih ataupun marah, dalam bermacam kondisi yang menyiksa. Jadi, saya benar-benar tak ingin berkaca! Hanya teringat sebuah pertanyaan: ‘Saat kamu melihat dirimu dicermin apa yang kamu rasakan? Bahagia menjadi dirimu? Bahagia menjadi orang lain? Ataukah masih bertanya siapa saya?’

Semalam saya berkaca di cermin rias besar, beberapa hari belakangan apa yang saya obrolkan bersama teman-temanku, apa yang saya lakukan, semuanya sama, tentang hal yang sangat saya benci, bukan tujuan dalam hidup saya, atau katakanlah bukan cita-cita saya. Namun sama sekali bukan hal yang umumnya dipandang negatif. Saya terlihat seolah menikmati, padahal tidak. Mengapa saya harus berbicara dan bersikap begitu? Mengapa saya melakukan semuanya hanya untuk terlihat normal dan baik-baik saja? Harusnya saya sudah cukup kuat untuk tidak takut menjadi diri sendiri, tak perlu takut tidak diterima dalam lingkungan sosial dan pergaulan. Saya merasa tak mampu mengenal diri saya, pernahkah kamu? Entahlah saya amat bersyukur tidak membawa cermin kecil di ransel saya. Kalau sudah jujur pada diri sendiri manusiawi sekali kan menutupi kenyataan yang kita rasakan pada orang lain, tidak terkecuali orang-orang terdekat. Bagiku ini bukan persoalan takut menjadi diri sendiri tapi karena tidak semua bisa berjalan sesuai keinginan sehingga saya dan barangkali kamu juga pernah berkompromi dengan pilihan buruk (meski tak pantas disebut pilihan karena memang pilihannya hanya satu, tapi judulnya tetap saja memilih) seperti yang sekarang menimpa saya. Akhirnya saya hanya bisa memaafkan kepasrahan saya, dan saya baru saja tersadarkan bahwa memaafkan diri sendiri itu adalah cara sederhana mengurangi beban hidup tapi jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain, saya harap kamu juga mencoba J
 Gerimis turun tak menentu. Saya masih betah berdiri di koridor kapal memandangi gelombang air menyilaukan di bawah sana. Ahh.. masa kanak-kanak dulu banyak genangan air di samping rumah lamaku bila hujan turun cukup deras, dengan perahu kertasku mungkin sekarang ini bisa sedikit membuatku senang daripada berada di kapal dan laut sungguhan.

Sisit Sita Moidady,
Banggai Laut, 13 – Luwuk, 16 agustus 2014 (Perjalanan).


Wednesday, October 8, 2014

Mari Belajar Dari Ulat dan Kupu-Kupu: Sebuah Cermin Tentang Makna Berjuang


Survivors, ada pelajaran hidup yang indah yang bisa kita petik dari kisah ulat dan kupu-kupu ‪#‎Metamorfosaku‬

Kita semua pasti tahu bahwa sblm bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu cantik seekor ulat perlu melewati proses tertentu
Tapi esensi kehidupan sesungguhnya dimulai pada saat ulat tersebut berada dalam kepompong
Menunggu, bagi manusia, maupun ulat, sama menjengkelkannya. Apalagi jika dlm kepompong tanpa cahaya & tanpa bisa bergerak 
Dibalik menunggu, sesungguhnya ada kelebihan tertentu yang sedang dipersiapkan oleh Sang Pencipta Kehidupan
Namun terkadang, proses menunggu yang menjemukan dan sepertinya tdk ada harapan itu yg sering membuat kehilangan sabar

Ketika saatnya tiba untuk si ulat yg kini menjadi seekor kupu-kupu cantik keluar dr kepompongnya, kupu-kupu tsb kesulitan
Dengan sekuat tenaga, kupu-kupu tersebut berusaha merobek kepompongnya agar ia akhirnya bisa terbebas
Ada seorang anak yg begitu 'prihatin' dengan nasib kupu-kupu dlm kepompong. Dirobeknyalah kepompong itu hingga terbebas
Tanpa disadari, anak kecil itu sesungguhnya sedang mencelakai si kupu-kupu. Karena sayapnya yg lemah, ia tdk bisa terbang
Si kupu-kupu itu kehilangan kekuatan yang dibutuhkan sayap-sayapnya agar ia bisa terbang & kembali melanjutkan kehidupan
Sesungguhnya proses menyakitkan yg harus seekor kupu-kupu lewati untk bisa keluar dr kempompongnya adlh untuk membantunya
Ketika seekor kupu-kupu hrs menunggu dlm kepompong & kemudian berjuang keluar sesungguhnya adlh untk menguatkan sayapnya
Kedua sayapnya yg kuat adalah faktor penting yang menunjang kehidupannya ketika ia berhasil keluar dari kepompongnya
Hal yg sama juga berlaku bagi kita. Setiap permasalahan yang datang adalah sesungguhnya untuk menguatkan otot mental kita
Ketika mental kita sdh beradaptasi dengan dunia yg tdk mengenal kompromi, maka disitulah sesungguhnya letak kekuatan kita
Seorang pahlawan lahir dari tempaan banyak medan perang. Seorang pebisnis handal lahir dari rentetan kegagalan
Anda & saya saat ini sedang dipersiapkan untk menjadi pemenang dlm pertandingan kehidupan. Terus bertahan dan menangkan

@zahralizious
irenebernadette@ymail.com