Bagaimana
mungkin seseorang yang tengah
berada di atas kapal yang sebentar lagi berlayar untuk pulang, dengan seluruh
pemandangan laut yang disukainya malah teringat cermin? Ya, saya teringat
cermin. Barangkali saya sedang ingin berkaca sekarang. Apa yang akan saya
perhatikan? Ooh.. wajah saya, sudah saya pastikan telah menghitam kemerahan, sudah
gabungan dari terbakar matahari dan memang nampak begitulah setiap saya sedih
ataupun marah, dalam bermacam kondisi yang menyiksa. Jadi, saya benar-benar tak
ingin berkaca! Hanya teringat sebuah pertanyaan: ‘Saat kamu melihat dirimu dicermin
apa yang kamu rasakan? Bahagia menjadi dirimu? Bahagia menjadi orang lain? Ataukah
masih bertanya siapa saya?’
Semalam saya berkaca di cermin
rias besar, beberapa hari belakangan apa yang saya obrolkan bersama teman-temanku,
apa yang saya lakukan, semuanya sama, tentang hal yang sangat saya benci, bukan
tujuan dalam hidup saya, atau katakanlah bukan cita-cita saya. Namun sama
sekali bukan hal yang umumnya dipandang negatif. Saya terlihat seolah
menikmati, padahal tidak. Mengapa saya harus berbicara dan bersikap begitu?
Mengapa saya melakukan semuanya hanya untuk terlihat normal dan baik-baik saja?
Harusnya saya sudah cukup kuat untuk tidak takut menjadi diri sendiri, tak
perlu takut tidak diterima dalam lingkungan sosial dan pergaulan. Saya merasa
tak mampu mengenal diri saya, pernahkah kamu? Entahlah saya amat bersyukur
tidak membawa cermin kecil di ransel saya. Kalau sudah jujur pada diri sendiri
manusiawi sekali kan menutupi kenyataan yang kita rasakan pada orang lain,
tidak terkecuali orang-orang terdekat. Bagiku ini bukan persoalan takut menjadi
diri sendiri tapi karena tidak semua bisa berjalan sesuai keinginan sehingga saya
dan barangkali kamu juga pernah berkompromi dengan pilihan buruk (meski tak
pantas disebut pilihan karena memang pilihannya hanya satu, tapi judulnya tetap
saja memilih) seperti yang sekarang menimpa saya. Akhirnya saya hanya bisa
memaafkan kepasrahan saya, dan saya baru saja tersadarkan bahwa memaafkan diri
sendiri itu adalah cara sederhana mengurangi beban hidup tapi jauh lebih sulit
daripada memaafkan orang lain, saya harap kamu juga mencoba J
Gerimis turun tak menentu. Saya
masih betah berdiri di koridor kapal memandangi gelombang air menyilaukan di
bawah sana. Ahh.. masa kanak-kanak dulu banyak genangan air di samping rumah
lamaku bila hujan turun cukup deras, dengan perahu kertasku mungkin sekarang ini
bisa sedikit membuatku senang daripada berada di kapal dan laut sungguhan.
Sisit Sita Moidady,
Banggai Laut, 13 –
Luwuk, 16 agustus 2014 (Perjalanan).